Sunday, January 29, 2012

Menggagas Sistem Jaminan Sosial Kotawaringin Barat


MENGGAGAS SISTEM JAMINAN SOSIAL KOTAWARINGIN BARAT
Oleh Suyuti Syamsul*
Fulan seorang anak yatim menulis surat kepada Tuhan. Isi suratnya sebagai berikut “Kepada Yang Terhormat Tuhan di sorga. Tuhan, saya memerlukan uang 100 ribu dengan rincian 50 ribu pembayaran sekolah, 40 ribu untuk beli obat ibu yang sakit dan 10 ribu untuk membeli beras. Pak Pos yang kebingungan mengantarkan surat tersebut ke kantor kelurahan. Pak Lurah kemudian membaca surat tersebut dan meminta stafnya urungan mengumpulkan uang. Terkumpullah uang 90 ribu. Pak Lurah menyuruh hansip kelurahan mengantarkan uang tersebut ke rumah Fulan. Fulan sangat senang dan menulis surat kepada Tuhan “Tuhan, terima kasih telah berkenan mengirimkan uang, tetapi lain kali kalau kirim uang jangan lewat hansip dipotongnya 10 %”
Sampai disini mungkin kita tertawa membacanya. Ceritanya ini sesungguhnya fakta yang terjadi disekitar kita. Ada berapa juta anak yang hanya bisa berkeluh kesah pada Tuhan ketika keluarganya sakit, mengalami kecelakaan karena tidak adanya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) disekitar kita. Berapa kali pula penyelesaian sementara dan parsial yang kita lakukan dengan urungan menyumbang. Padahal UUD 45 menggariskan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara bukan oleh pak Lurah.
Sistem Jaminan sosial sendiri memiliki akar panjang yaitu pada masa pemerintahan perdana menteri Otto von Bismark di Jerman pada abad ke 19 dengan konsep negara kesejahteraannya. Perlu digaris bawahi bahwa tidak ada bangsa yang maju  di dunia tanpa SJSN dan tidak ada negara yang maju karena mengandalkan sumber daya alamnya. Maju tidaknya sebuah negara sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusianya (SDM-nya). SJSN adalah investasi SDM bahkan ketika manusia masih dalam kandungan. SJSN memungkinkan ibu hamil memeriksakan kandungannya secara rutin tanpa memikirkan biaya lagi sehingga janin yang diperkirakan mengalami gangguan perkembangan dapat dideteksi secara dini. Harapannya, bahan baku SDM yang akan lahir nantinya akan semakin berkualitas sehingga memiliki kemampuan bersaing dengan bangsa lain.
SSJN secara tersurat disebutkan dalam UUD 45. Pasal 28 H ayat 1 menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Ayat 3 menyatakan, setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.  Sebagai penjabaran dibuatlah Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN yang mewajibkan pemerintah untuk membuat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (BPJSN) paling lambat tahun 2009 BPJSN. Sampai memasuki tahun 2011 BPJSN belum terbentuk. Alih-alih membentuknya melalui peraturan pemerintah sebagaimana yang diamanatkan undang-undang tersebut, pemerintah dan DPR RI malah ribut membahas Rancangan UU BPJS yang baru.  Ironisnya, aset yang sangat besar pada salah satu calon badan penyelenggaralah yang membuat tarik ulur pembentukan BPJSN tersebut. 
Sekalipun sedikit terlambat dari peta jalan pembangunan sistem jaminan sosial daerah (jamsosda) Kotawaringin Barat, anggota DPRD Kotawaringin Barat telah melakukan langkah bersejarah yang akan dicatat dengan tinta emas oleh generasi yang akan datang dengan memulai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang (Ranperda) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kotawaringin Barat. Meskipun anggota dewan memiliki berbagai perbedaan kepentingan politik, mereka berhasil mengatasi perbedaan tersebut untuk bahu membahu dengan eksekutif membahas ranperda BPJS suatu sikap  negarawan yang patut diapresiasi. Mudahan-mudahan pembahasan ranperda ini menjadi konsesus di Kotawaringin Barat bahwa bila menyangkut kepentingan masyarakat warna dan symbol partai harus dijauhkan. Tentu pembahasanan ini bukan akhir sebab pembahasan hanya langkah awal dari pekerjaan besar yang menunggu. Ranperda masih perlu ditetapkan, setelah itu beberapa peraturan bupati sebagai petunjuk operasional harus diselesaikan. Langkah berikutnya adalah mengangkat direktur dan rekruitmen pegawai BPJS, pengangkatan anggota Dewan Jaminan Sosial. Setelah pengisian personal selesai langkah berikutnya adalah melakukan under writing dengan mengevaluasi data kesakitan, jumlah peserta dan biaya layanan kesehatan dasar dan rujukan serta manfaat yang akan diterima peserta. Melalui kegiatan under writing inilah nantinya akan ditentukan berapa besar premi yang harus dibayar oleh peserta atau dibayarkan oleh Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat.
SJSN berdasarkan kepesertaan dibagi menjadi tiga: pertama, mandatory (wajib) dimana setiap orang diwajibkan ikut dalam system; kedua, compulsory artinya setiap orang diwajibkan ikut tetapi juga dapat mengikuti asuransi lainnya untuk mendapatkan manfaat tambahan; Ktiga, sukarela artinya tidak ada kewajiban untuk ikut. Berdasarkan siapa yang membayar premi dibagi menjadi tiga: Pertama, public dimana pemerintah bertindak menjadi pembayar tungga dan anggarannya berasal dari APBN; Kedua, quasi government system dimana yang bertindak sebagai pembayar adalah pemerintah dan masyarakat serta pemberi kerja; ketiga, swasta dimana pemerintah tidak ikur membayar premi tetapi sepenuhnya dibayar oleh masyarakat dan pemberi kerja. Inggris merupakan salah satu negara dengan kepesertaan mandatory dimana pemerintahnya bertindak sebagai pembayar premi tunggal. Quasi-government system dengan kepesertaan bersifa compulsory dilaksanakan antara lain oleh Jerman, Jepang, Singapore. Dalam sistem ini, masyarakat yang mampu membayar sendiri preminya, untuk pekerja sector formal berbagi tanggung jawab dengan pemberi kerja membayar premi, masyarakat miskin dibayar penuh oleh pemerintah dan masyarakat tidak mampu sebagian preminya disubsidi oleh pemerintah.  Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara didunia ini yang kepesertaannya bersifat sukarela dan pembayar preminya sepenuhnya masyarakat dan pemberi kerja.
Sistem yang diterapkan di Amerika Serikat ini banyak dikritik sebab selain menyisakan banyak orang yang tidak terlindungi asuransi, biaya yang dikeluarkan tidak seimbang dengan tingkat manfaat yang didapatkan masyarakat.  Asuransi kebanyakan pesertanya penduduk usia lanjut dan anak-nak yang insiden sakitnya lebih tinggi dari penduduk usia muda, akibatnya premi yang diminta asuransi sangat mahal karena risiko tidak terbagi dengan penduduk yang insiden sakitnya rendah. Pemerintahan Presiden Barrack Obama menyadari kelemahan sistem dan melakukan reformasi SJSN. Meskipun menghadapi tantangan yang berat oleh kelompok liberal yang menggagap gagasan tersebut akan membuat pajak makin tinggi dan mendorong Amerika Serikat kearah sistem sosialis, akhirnya diterima setelah melalui perdebatan alot dan melelahkan.


SJSN Indonesia
SJSN sebagaimana yang diamanahkan UU 40 tahun 2004 harus berbentuk asuransi sosial dengan sifat kepesertaan mandatory dan pembayar premi quasi-government system tidak jalan, maka yang terjadi saat ini tidak jelas tetapi memiliki kemiripan dengan sistem yang dipakai Amerika Serikat. Diluar PNS dan anggota TNI/POlRI yang wajib menjadi peserta asuransi sosial, anggota masyarakat lainnya ikut asuransi komersial dengan kepesertaan sukarela. Karena tidak adanya sistem yang jelas, masing-masing fihak membuat sistem jaminan sosial sesuai dengan penafsirannya. Kementerian Kesehatan meluncurkan program jamkesmas. Daerah membuat jamkesda yang penyelenggaranya tidak seragam, ada yang diselenggarakan rumah sakit, dinas kesehatan, dinas social bahkan ada diselenggarakan bapeda. Bahkan ada daerah di Kalimantan Timur yang  menyerahkannya ke perusahaan asuransi komersial.  Tidak salah kemudian kalau muncul anggapan bahwa jamkesmas dan jamkesda adalah korban akibat tidak dijalankannya UU 40 tahun 2004 oleh pemerintah. Uniknya, sebagian besar rakyat diam saja melihat pemerintah melakukan pembangkangan telanjang pada UU dan UUD.
Lebih parah lagi muncul istilah kesehatan gratis suatu istilah yang tidak memiliki referensi akademik sama sekali. Istilah ini adalah istilah politik populis karena tidak ada kesehatan yang gratis betul dalam pengertian free of cost. Gratis memiliki makna ada biaya yang ditiadakan, persoalnnya apakah betul biaya kesehatan tidak ada lagi. Apakah obatnya tidak dibeli? Apakah dokter dan perawatnya tidak mendapat gaji dan jasa medis? Apakah rumah sakitnya tidak dibayar? Pada dasarnya semuanya tetap dibayar. Lalu siapa yang membayarnya, pemerintah? Dari mana pemerintah dapat duit? Dari pajak yang dibayar warga negara, jadi kesimpulannya biaya yang diklaim gratis sesungguhnya ditanggung pembayar pajak. Disini letak tidak adilnya istilah kesehatan gratis, seseorang mendapat keuntungan populis dengan biaya yang ditanggung orang lain.
Program jamkesmas dan jamkesda dengan penyelenggara sebagaimana disebutkan sebelumnya jika dibandingkan dengan prinsip-prinsip asuransi sosial jelas tidak sejalan. Melihat situtuasi yang carut marut ini beberapa daerah membuat terobosan dengan membuat BPJS daerahnya masing-masing. Tetapi oleh beberapa oknum  baik pemerintah,P.T. Askes, P.T. Jamsostek serta DPR,BPJSl ini dipersoalkan karena dianggap bertentangan dengan UU 40 Tahun 2004 yang hanya menyebutkan P.T. Askes, P.T. Jamsostek dan Asabri sebagi penyelenggara. Daerah yang memiliki BPJS akhirnya mengajukan pengujian materil UU 40 tahun 2004 terhadap UUD 45 yang kemudian dikabulkan Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK atas perkara 007/PUU-III/2005 tanggal 31 Agustus 2005.

Situasi Kotawaringin Barat
Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat membuat crass program yaitu jamkesda yang dikelola rumah sakit. Sebetulnya Jamkesda sebagaimana Jamkesmas, secara konsep dari awal tidak sesuai dengan semangat UU 40 tahun 2004 yang mengisyaratkan SJSN dalam bentuk asuransi sosial. Sebagai crass program untuk melindungi masyarakat tentu dapat dipahami karena BPJS Kotawaringin Barat belum terbentuk. Dari sisi sistem kendali pembiyaan, jamkesmas selangkah lebih maju dibandingkan dengan jamkesda, setidaknya jamkesmas masih memberikan kartu kepesertaan. Adanya batasan peserta membuat jamkesmas secra prinsip mirip asuransi sosial yang mana orang sehat membantu yang sakit artinya resiko tetap terbagi diantara para pemilik kartu. Penggunaan SKTM sebagaimana jamkesda, maka resiko tidak terbagi sebab tanpa batasan kepesertan maka prinsip yang sehat menaggung yang sakit tidak berjalan. Pesertanya adalah semua orang yang sedang sakit. Kalau setiap tahun anggaran selalu tekor bisa dimaklumi karena risiko tidak terbagi. Upaya untuk memberikan tanda kepesertaan bukannya tidak pernah dilaksanakan. Upaya untuk mendata masyarakat tidak mampu yang belum ditanggung jamkesmas untuk selanjutnya diberi kartu pesertaan jamkesda sayangnya dijegal oleh oknum tertentu karena berbagai pertimbangan.
Persoalan SJSN di Kotawaringin Barat semakin rancu dengan munculnya jamkesdaduk yang dikelola oleh dinas kesehatan. Muncul dua jaminan sosial yang dikelola secara terpisah oleh dua instansi yang berbeda, padahal asuransi sosial semangatnya adalah pelayanan dasar dan rujukan tidak boleh dipisahkan penyelenggaraannya. Jamkesdaduk sedikit lebih baik karena jarang tekor sebab populasi yang menjadi targetnya jelas yaitu seluruh penduduk Kotawaringin Barat diluar PNS, anggota TNI/Polri, peserta jamkemas dan jamsostek. Bandingkan dengan jamkesda yang dikelola RSUD dimana siapa saja dapat mendapatkan kartu SKTM termasuk peserta jamkesmas dan jamsostek meskipun sebetulnya hanya diperuntukkan bagi warga tidak mampu yang belum ditanggung jamkesmas. Alasan selanjutnya, fungsi pembayar dan penyedia layanan berbeda. Dinas Kesehatan Kotawaringin Barat bertindak sebagai pembayar dan puskemas sebagai pemberi layanan. Hal ini tidak berarti jamkesdaduk tidak memiliki cacat, model pembayaran fee for service alias makin banyak orang sakit yang dilayani makin besar jasa yang diterima berdampak pada runtuhnya upaya program pencegahan penyakit. Untuk apa menjalankan program pencegahan penyakit jika semakin banyak orang sakit semakin banyak uang yang akan diterima. Padahal, asuransi sosial selalu menekankan bahwa pelayanan dasar harus dibayar dengan sistem kapitasi supaya penyedia layanan bergerak mencegah orang menjadi sakit.
Berbeda halnya dengan jamkesda dimana RSUD bertindak sebagai pembayar sekaligus sebagai penyedia layanan. Singkatnya RSUD membayar dirinya sendiri, wajar kemudian jika muncul pandangan negatif terkait akuntabilitas penyelenggaraan. Untuk menjamin aspek akuntabilitas, RSUD berjaga-jaga dengan membuat prosedur berlapis untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Sayangnya prosedur ini direaksi secara negatif oleh masyarakat. Bagi kebanyakan masyarakat, sangat sulit menerima, uang  4,5 milyar habis dalam waktu setengah tahun saja. Sesungguhnya ini fakta yang mudah dijelaskan dengan ilustrasi berikut, kalau ada enam ribu pasien yang harus dilayani dengan biaya rata  sejuta per episode perawatan tentu kebutuhan anggarannya 6 milyar. Bayangkan kalau ada pasien yang memerlukan biaya perawatan sampai hingga empat puluh juta di rumah sakit rujukan Semarang dan Banjarmasin. Tidaklah mengherankan kemudian jika seratus pasien pengguna terbesar anggaran jamkesda pada tahun 2010 menghabiskan dana hampir 1,5 milyar, bayangkan jika jumlah pasien mencapai enam ribu orang.
Mengingat jumlah pengguna jamkesda tidak diketahui karena tidak adanya kartu peserta maka diasumsikan bahwa seluruh penduduk Kotawaringin Barat berpeluang menggunakan jamkesda dengan modal SKTM. Karena jumlah peserta tidak dapat diketahui sementara anggaran yang tersedia tahun 2011 hanya 2,5 Milyar, maka tidak ada jalan lain kecuali melakukan pembatasan biaya yang ditanggung. Hal ini sesuai dengan prinsip asuransi, kalau anggaran tidak cukup sementara yang memakai tidak terbatas maka untuk membuat anggaran cukup, jumlah pemakain setiap orang yang harus dibatasi. Ringkasnya kalau anda punya uang sepuluh juta dan bermaksud membagikan sepeda pada sepuluh orang maka anda dapat memberikan setiap orang sepeda yang harganya sejuta. Kalau ternyata jumlah orang yang menginginkan sepeda bertambah menjadi 20 orang, sepeda yang harus dibagikan berharga lima ratus ribu. Bagaimana kalau ternyata kedua puluh orang itu tetap minta sepeda dengan harga sejuta? Pertama, anda menambah anggaran menjadi dua puluh juta. Kalau tidak dapat menambah anggaran maka alternatifnya berikan sepeda dengan harga sejuta tetapi anda hanya membantu lima ratus ribu, kekurangannya silahkan yang bersangkutan cari sendiri.
Solusi untuk Kotawaringin Barat
Untuk mengatasi masalah jamkesda di Kotawaringin Barat maka tidak ada jalan lain kecuali menyelenggarakannya dengan sistem asuransi sosial. Bagaimana caranya? Kalau mau sedikit repot buat BPJS kalau mau gampangnya serahkan saja ke P.T. Askes, masalahnya P.T. Askes hanya memberikan jaminan pelayanan kesehatan dan tidak melayani jaminan social lainnya seperti santuanan kematian, kecelakaan, apalagi tunjangan hari tua.
Tabel Peserta Asuransi Kesehatan di Kotawaringin Barat (Perkiraan)
Jenis
Jumlah Peserta (jiwa)
Jamkesmas
43.000
Askes
15.000
Asabri
4.000
Jamsostek
3.000
Asuransi Lain
5.000
Jumlah
70.000

Jumlah penduduk Kotawaringin Barat 235 ribu jiwa, artinya ada 165 ribu jiwa yang belum terlindungi asuransi. InilahpPengguna SKTM selama ini, ditambah peserta jamkesmas dan jamsostek yang ikut-ikutan mengurus SKTM karena pertimbangan kepraktisan. Masalah utama pengembangan sistem jaminan sosial di Kotawaringin Barat adalah bagaimana mengasuransikan ke-165 ribu jiwa ini. Kalau merujuk pada premi yang ditawarkan P.T. Askes untuk masyarakat tidak mampu di daerah lain yakni sepuluh ribu rupiah perjiwa perbulan maka dibutuhkan anggaran 1,65 milyar rupiah perbulan atau 19,8 milyar pertahun. Perlu dicatat bahwa hitungan premi sepuluh ribu adalah hitungan minimal, artinya layanan kesehatan yang didapat sangat minimalis alias banyak yang tidak ditanggung tetapi setidaknya tugas pemerintah kabupaten  menyediakan layanan kesehatan minimal selesai.
Lalu siapa yang akan menyediakan 19,8 milyar itu? Ada lima alternatif yang dapat dipilih. Alternatif pertama, semuanya ditanggung pemerintah kabupaten. Tahun 2011, ada 5 milyar anggaran jamkesda dan jamkesdaduk di RSUD dan Dinas Kesehatan yang dapat dialihkan untuk membayar premi. Kalau disepakati, anggaran bantuan sosial tahun 2011 yang 13 milyar dapat dialihkan pula untuk membayar premi. Tinggal meyakinkan tokoh masyarakat dan tokoh agama bahwa bantuan sosial untuk rumah ibadah ditiadakan, sebagai gantinya seluruh masyarakat Kotawaringin Barat kalau sakit tidak perlu mengeluarkan biaya atau setidak-tidaknya sebagian biaya ditanggung asuransi. Kalau penjelasannya memadai masyarakat, kemungkinan besar akan diterima. Berikan pemahaman bahwa kalau sebuah bangunan ibadah tidak selesai, tidak akan ada yang meninggal dan biarlah pembangunan rumah ibadah itu ditanggung oleh komunitasnya. Kalau dapat terlaksana, akan terkumpul anggaran 18 milyar. Kekurangan 1,8 milyar dapat dicari dengan menunda program yang tidak terlalu prioritas. 
Kalau pemerintah kabupaten merasa berat, alternatif kedua dapat dicoba. Pemerintah Kabupaten duduk bersama dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah membicarakan sharing pembiayaan dengan pertimbangan masyarakat Kotawaringin Barat juga masyarakat Kalimantan Tengah. Kelemahan alternatif pertama dan kedua peserta jaminan kesehatan yang tidak bersifat wajib kemungkinan akan berhenti dengan pertimbangan pada akhirnya akan ditanggung pemerintah.
Alternatif ketiga membagi beban premi dengan masyarakat mengingat 165 ribu jiwa tersebut sebagian berkategori mampu atau bekerja di perusahaan. Sharing premi antara pemerintah dan masyarakat dapat menggunakan skenario sebagai berikut. Bagi yang pendapatan keluarganya dibawah atau sama dengan 500 ribu rupiah perbulan seluruh preminya dibayar pemerintah. Setiap kenaikan pendapatan 200 ribu rupiah, masyarakat bertanggung jawab membayar seribu rupiah sebagai sharing premi. Dengan demikian, masyarakat yang berpendapatan Rp. 2.500.000 harus menanggung sendiri seluruh premi. Kalau keluarga tersebut terdiri dari empat orang, hanya perlu menyisihkan 40 ribu rupiah perbulan atau sama dengan empat bungkus rokok.
Alternatif keempat, anggaran jamkesda dan jakesdaduk dipakai membayar premi penduduk dengan pendapatnnya paling rendah diantara 165 ribu jiwa yang tidak memiliki asuransi. Anggaran 5 milyar yang ada akan cukup untuk membayar premi 40 ribu jiwa selama setahun. Masih ada 125.000 jiwa lagi yang belum diasuransikan dan perlu dibicarakan dengan duduk bersama dengan pengusaha. Perusahaan diminta untuk mengasuransikan pegawainya baik dengan premi yang dibayar penuh oleh perusahaan maupun sharing antara pemberi kerja dengan pekerjanya. Sisa masyarakat yang tidak bekerja di sektor formal dapat diatasi dengan memanfaatkan Corporate Social Responsibility (CSR) yang merupakan kewajiban perusahaan. Contoh, setiap perkebunan sawit swasta besar diminta menanggung premi satu jiwa penduduk untuk setiap satu ha kebun yang dimilikinya. Menurut informasi dari sumber yang dapat dipercaya, setiap satu ha kebun sawit memberikan keuntungan minimal satu juta rupiah perbulan maka premi sepuluh ribu rupiah hanya satu persen dari keuntungan, masih jauh dari batas minimal CSR yang disyaratkan. Ada berapa berapa ratus ribu ha kebun sawit di wilayan Kotawaringin Barat. Kalau masih ada juga yang belum terlindungi asuransi, ajak lagi perusahaan lainnya atau kalau perlu setiap satu keluarga yang berkecukupan diminta menanggung satu jiwa tetangganya yang tidak mampu.
Alternatif kelima adalah pemerintah menggunakan anggaran jamkesda dan jamkesdaduk untuk mengasuransikan 40 ribu jiwa penduduk tidak mampu yang tidak masuk kuota jamkesmas. Sisanya silahkan membayar sendiri baik melalui BPJS Kotawaringin Barat atau melalui asuransi sosial lainnya seperti P.T. Askes dan P.T. Jamsostek. Apapaun alternatif yang dipilih, pemerintah kabupaten dapat memberikan bonus pada peserta dengan menggunakan anggaran sebesar dua ratus juta pada Dinas Sosial untuk asuransi kematian.
·         Alumnus Pasca Sarjana University of Southern California Los Angeles

No comments:

Post a Comment