MENGGAGAS
SISTEM JAMINAN SOSIAL KOTAWARINGIN BARAT
Oleh
Suyuti Syamsul*
Fulan seorang anak yatim menulis surat kepada Tuhan. Isi suratnya
sebagai berikut “Kepada Yang Terhormat Tuhan di sorga. Tuhan, saya memerlukan
uang 100 ribu dengan rincian 50 ribu pembayaran sekolah, 40 ribu untuk beli obat
ibu yang sakit dan 10 ribu untuk membeli beras. Pak Pos yang kebingungan
mengantarkan surat tersebut ke kantor kelurahan. Pak Lurah kemudian membaca
surat tersebut dan meminta stafnya urungan mengumpulkan uang. Terkumpullah uang
90 ribu. Pak Lurah menyuruh hansip kelurahan mengantarkan uang tersebut ke
rumah Fulan. Fulan sangat senang dan menulis surat kepada Tuhan “Tuhan, terima
kasih telah berkenan mengirimkan uang, tetapi lain kali kalau kirim uang jangan
lewat hansip dipotongnya 10 %”
Sampai disini mungkin kita tertawa membacanya. Ceritanya ini sesungguhnya
fakta yang terjadi disekitar kita. Ada berapa juta anak yang hanya bisa
berkeluh kesah pada Tuhan ketika keluarganya sakit, mengalami kecelakaan karena
tidak adanya Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) disekitar kita. Berapa kali
pula penyelesaian sementara dan parsial yang kita lakukan dengan urungan
menyumbang. Padahal UUD 45 menggariskan bahwa fakir miskin dan anak terlantar
dipelihara oleh negara bukan oleh pak Lurah.
Sistem Jaminan sosial sendiri memiliki akar panjang yaitu pada masa
pemerintahan perdana menteri Otto von Bismark di Jerman pada abad ke 19 dengan
konsep negara kesejahteraannya. Perlu digaris bawahi bahwa tidak ada bangsa
yang maju di dunia tanpa SJSN dan tidak
ada negara yang maju karena mengandalkan sumber daya alamnya. Maju tidaknya
sebuah negara sangat tergantung pada kualitas sumber daya manusianya (SDM-nya).
SJSN adalah investasi SDM bahkan ketika manusia masih dalam kandungan. SJSN memungkinkan
ibu hamil memeriksakan kandungannya secara rutin tanpa memikirkan biaya lagi
sehingga janin yang diperkirakan mengalami gangguan perkembangan dapat
dideteksi secara dini. Harapannya, bahan baku SDM yang akan lahir nantinya akan
semakin berkualitas sehingga memiliki kemampuan bersaing dengan bangsa lain.
SSJN secara tersurat disebutkan dalam UUD 45. Pasal 28 H ayat 1
menyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Ayat 3 menyatakan, setiap orang berhak atas jaminan sosial
yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat. Sebagai penjabaran
dibuatlah Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN yang mewajibkan
pemerintah untuk membuat Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (BPJSN)
paling lambat tahun 2009 BPJSN. Sampai memasuki tahun 2011 BPJSN belum
terbentuk. Alih-alih membentuknya melalui peraturan pemerintah sebagaimana yang
diamanatkan undang-undang tersebut, pemerintah dan DPR RI malah ribut membahas
Rancangan UU BPJS yang baru. Ironisnya,
aset yang sangat besar pada salah satu calon badan penyelenggaralah yang
membuat tarik ulur pembentukan BPJSN tersebut.
Sekalipun sedikit terlambat dari peta jalan pembangunan sistem jaminan
sosial daerah (jamsosda) Kotawaringin Barat, anggota DPRD Kotawaringin Barat telah
melakukan langkah bersejarah yang akan dicatat dengan tinta emas oleh generasi
yang akan datang dengan memulai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang
(Ranperda) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kotawaringin Barat. Meskipun
anggota dewan memiliki berbagai perbedaan kepentingan politik, mereka berhasil
mengatasi perbedaan tersebut untuk bahu membahu dengan eksekutif membahas ranperda
BPJS suatu sikap negarawan yang patut
diapresiasi. Mudahan-mudahan pembahasan ranperda ini menjadi konsesus di Kotawaringin
Barat bahwa bila menyangkut kepentingan masyarakat warna dan symbol partai
harus dijauhkan. Tentu pembahasanan ini bukan akhir sebab pembahasan hanya
langkah awal dari pekerjaan besar yang menunggu. Ranperda masih perlu ditetapkan,
setelah itu beberapa peraturan bupati sebagai petunjuk operasional harus
diselesaikan. Langkah berikutnya adalah mengangkat direktur dan rekruitmen
pegawai BPJS, pengangkatan anggota Dewan Jaminan Sosial. Setelah pengisian
personal selesai langkah berikutnya adalah melakukan under writing dengan
mengevaluasi data kesakitan, jumlah peserta dan biaya layanan kesehatan dasar
dan rujukan serta manfaat yang akan diterima peserta. Melalui kegiatan under
writing inilah nantinya akan ditentukan berapa besar premi yang harus dibayar
oleh peserta atau dibayarkan oleh Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat.
SJSN berdasarkan kepesertaan dibagi menjadi tiga: pertama, mandatory
(wajib) dimana setiap orang diwajibkan ikut dalam system; kedua, compulsory artinya
setiap orang diwajibkan ikut tetapi juga dapat mengikuti asuransi lainnya untuk
mendapatkan manfaat tambahan; Ktiga, sukarela artinya tidak ada kewajiban untuk
ikut. Berdasarkan siapa yang membayar premi dibagi menjadi tiga: Pertama, public
dimana pemerintah bertindak menjadi pembayar tungga dan anggarannya berasal
dari APBN; Kedua, quasi government system dimana yang bertindak sebagai
pembayar adalah pemerintah dan masyarakat serta pemberi kerja; ketiga, swasta dimana
pemerintah tidak ikur membayar premi tetapi sepenuhnya dibayar oleh masyarakat
dan pemberi kerja. Inggris merupakan salah satu negara dengan kepesertaan
mandatory dimana pemerintahnya bertindak sebagai pembayar premi tunggal. Quasi-government
system dengan kepesertaan bersifa compulsory dilaksanakan antara lain oleh
Jerman, Jepang, Singapore. Dalam sistem ini, masyarakat yang mampu membayar
sendiri preminya, untuk pekerja sector formal berbagi tanggung jawab dengan
pemberi kerja membayar premi, masyarakat miskin dibayar penuh oleh pemerintah
dan masyarakat tidak mampu sebagian preminya disubsidi oleh pemerintah. Amerika Serikat merupakan satu-satunya negara
didunia ini yang kepesertaannya bersifat sukarela dan pembayar preminya sepenuhnya
masyarakat dan pemberi kerja.
Sistem yang diterapkan di Amerika Serikat ini banyak dikritik sebab
selain menyisakan banyak orang yang tidak terlindungi asuransi, biaya yang
dikeluarkan tidak seimbang dengan tingkat manfaat yang didapatkan masyarakat. Asuransi kebanyakan pesertanya penduduk usia
lanjut dan anak-nak yang insiden sakitnya lebih tinggi dari penduduk usia muda,
akibatnya premi yang diminta asuransi sangat mahal karena risiko tidak terbagi
dengan penduduk yang insiden sakitnya rendah. Pemerintahan Presiden Barrack Obama
menyadari kelemahan sistem dan melakukan reformasi SJSN. Meskipun menghadapi
tantangan yang berat oleh kelompok liberal yang menggagap gagasan tersebut akan
membuat pajak makin tinggi dan mendorong Amerika Serikat kearah sistem sosialis,
akhirnya diterima setelah melalui perdebatan alot dan melelahkan.
SJSN Indonesia
SJSN sebagaimana yang diamanahkan UU 40 tahun 2004 harus berbentuk
asuransi sosial dengan sifat kepesertaan mandatory dan pembayar premi
quasi-government system tidak jalan, maka yang terjadi saat ini tidak jelas
tetapi memiliki kemiripan dengan sistem yang dipakai Amerika Serikat. Diluar
PNS dan anggota TNI/POlRI yang wajib menjadi peserta asuransi sosial, anggota
masyarakat lainnya ikut asuransi komersial dengan kepesertaan sukarela. Karena
tidak adanya sistem yang jelas, masing-masing fihak membuat sistem jaminan sosial
sesuai dengan penafsirannya. Kementerian Kesehatan meluncurkan program jamkesmas.
Daerah membuat jamkesda yang penyelenggaranya tidak seragam, ada yang diselenggarakan
rumah sakit, dinas kesehatan, dinas social bahkan ada diselenggarakan bapeda.
Bahkan ada daerah di Kalimantan Timur yang menyerahkannya ke perusahaan asuransi
komersial. Tidak
salah kemudian kalau muncul anggapan bahwa jamkesmas dan jamkesda adalah korban
akibat tidak dijalankannya UU 40 tahun 2004 oleh pemerintah. Uniknya, sebagian
besar rakyat diam saja melihat pemerintah melakukan pembangkangan telanjang
pada UU dan UUD.
Lebih parah lagi muncul istilah kesehatan gratis suatu istilah yang
tidak memiliki referensi akademik sama sekali. Istilah ini adalah istilah
politik populis karena tidak ada kesehatan yang gratis betul dalam pengertian
free of cost. Gratis memiliki makna ada biaya yang ditiadakan, persoalnnya
apakah betul biaya kesehatan tidak ada lagi. Apakah obatnya tidak dibeli?
Apakah dokter dan perawatnya tidak mendapat gaji dan jasa medis? Apakah rumah
sakitnya tidak dibayar? Pada dasarnya semuanya tetap dibayar. Lalu siapa yang
membayarnya, pemerintah? Dari mana pemerintah dapat duit? Dari pajak yang
dibayar warga negara, jadi kesimpulannya biaya yang diklaim gratis sesungguhnya
ditanggung pembayar pajak. Disini letak tidak adilnya istilah kesehatan gratis,
seseorang mendapat keuntungan populis dengan biaya yang ditanggung orang lain.
Program jamkesmas dan jamkesda dengan penyelenggara sebagaimana
disebutkan sebelumnya jika dibandingkan dengan prinsip-prinsip asuransi sosial
jelas tidak sejalan. Melihat situtuasi yang carut marut ini beberapa daerah
membuat terobosan dengan membuat BPJS daerahnya masing-masing. Tetapi oleh
beberapa oknum baik pemerintah,P.T. Askes,
P.T. Jamsostek serta DPR,BPJSl ini dipersoalkan karena dianggap bertentangan dengan
UU 40 Tahun 2004 yang hanya menyebutkan P.T. Askes, P.T. Jamsostek dan Asabri
sebagi penyelenggara. Daerah yang memiliki BPJS akhirnya mengajukan pengujian
materil UU 40 tahun 2004 terhadap UUD 45 yang kemudian dikabulkan Mahkamah
Konstitusi melalui putusan MK atas perkara 007/PUU-III/2005 tanggal 31 Agustus
2005.
Situasi Kotawaringin Barat
Pemerintah Kabupaten Kotawaringin Barat membuat crass program yaitu
jamkesda yang dikelola rumah sakit. Sebetulnya Jamkesda sebagaimana Jamkesmas, secara
konsep dari awal tidak sesuai dengan semangat UU 40 tahun 2004 yang
mengisyaratkan SJSN dalam bentuk asuransi sosial. Sebagai crass program untuk
melindungi masyarakat tentu dapat dipahami karena BPJS Kotawaringin Barat belum
terbentuk. Dari sisi sistem kendali pembiyaan, jamkesmas selangkah lebih maju
dibandingkan dengan jamkesda, setidaknya jamkesmas masih memberikan kartu
kepesertaan. Adanya batasan peserta membuat jamkesmas secra prinsip mirip asuransi
sosial yang mana orang sehat membantu yang sakit artinya resiko tetap terbagi
diantara para pemilik kartu. Penggunaan SKTM sebagaimana jamkesda, maka resiko
tidak terbagi sebab tanpa batasan kepesertan maka prinsip yang sehat menaggung
yang sakit tidak berjalan. Pesertanya adalah semua orang yang sedang sakit. Kalau
setiap tahun anggaran selalu tekor bisa dimaklumi karena risiko tidak terbagi. Upaya
untuk memberikan tanda kepesertaan bukannya tidak pernah dilaksanakan. Upaya
untuk mendata masyarakat tidak mampu yang belum ditanggung jamkesmas untuk selanjutnya
diberi kartu pesertaan jamkesda sayangnya dijegal oleh oknum tertentu karena
berbagai pertimbangan.
Persoalan SJSN di Kotawaringin Barat semakin rancu dengan munculnya
jamkesdaduk yang dikelola oleh dinas kesehatan. Muncul dua jaminan sosial yang dikelola
secara terpisah oleh dua instansi yang berbeda, padahal asuransi sosial
semangatnya adalah pelayanan dasar dan rujukan tidak boleh dipisahkan
penyelenggaraannya. Jamkesdaduk sedikit lebih baik karena jarang tekor sebab populasi
yang menjadi targetnya jelas yaitu seluruh penduduk Kotawaringin Barat diluar
PNS, anggota TNI/Polri, peserta jamkemas dan jamsostek. Bandingkan dengan
jamkesda yang dikelola RSUD dimana siapa saja dapat mendapatkan kartu SKTM
termasuk peserta jamkesmas dan jamsostek meskipun sebetulnya hanya
diperuntukkan bagi warga tidak mampu yang belum ditanggung jamkesmas. Alasan selanjutnya,
fungsi pembayar dan penyedia layanan berbeda. Dinas Kesehatan Kotawaringin
Barat bertindak sebagai pembayar dan puskemas sebagai pemberi layanan. Hal ini
tidak berarti jamkesdaduk tidak memiliki cacat, model pembayaran fee for
service alias makin banyak orang sakit yang dilayani makin besar jasa yang
diterima berdampak pada runtuhnya upaya program pencegahan penyakit. Untuk apa
menjalankan program pencegahan penyakit jika semakin banyak orang sakit semakin
banyak uang yang akan diterima. Padahal, asuransi sosial selalu menekankan
bahwa pelayanan dasar harus dibayar dengan sistem kapitasi supaya penyedia
layanan bergerak mencegah orang menjadi sakit.
Berbeda halnya dengan jamkesda dimana RSUD bertindak sebagai
pembayar sekaligus sebagai penyedia layanan. Singkatnya RSUD membayar dirinya
sendiri, wajar kemudian jika muncul pandangan negatif terkait akuntabilitas
penyelenggaraan. Untuk menjamin aspek akuntabilitas, RSUD berjaga-jaga dengan membuat
prosedur berlapis untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Sayangnya
prosedur ini direaksi secara negatif oleh masyarakat. Bagi kebanyakan masyarakat,
sangat sulit menerima, uang 4,5 milyar
habis dalam waktu setengah tahun saja. Sesungguhnya ini fakta yang mudah
dijelaskan dengan ilustrasi berikut, kalau ada enam ribu pasien yang harus
dilayani dengan biaya rata sejuta per
episode perawatan tentu kebutuhan anggarannya 6 milyar. Bayangkan kalau ada pasien
yang memerlukan biaya perawatan sampai hingga empat puluh juta di rumah sakit
rujukan Semarang dan Banjarmasin. Tidaklah mengherankan kemudian jika seratus
pasien pengguna terbesar anggaran jamkesda pada tahun 2010 menghabiskan dana hampir
1,5 milyar, bayangkan jika jumlah pasien mencapai enam ribu orang.
Mengingat jumlah pengguna jamkesda tidak diketahui karena tidak
adanya kartu peserta maka diasumsikan bahwa seluruh penduduk Kotawaringin Barat
berpeluang menggunakan jamkesda dengan modal SKTM. Karena jumlah peserta tidak
dapat diketahui sementara anggaran yang tersedia tahun 2011 hanya 2,5 Milyar,
maka tidak ada jalan lain kecuali melakukan pembatasan biaya yang ditanggung.
Hal ini sesuai dengan prinsip asuransi, kalau anggaran tidak cukup sementara yang
memakai tidak terbatas maka untuk membuat anggaran cukup, jumlah pemakain
setiap orang yang harus dibatasi. Ringkasnya kalau anda punya uang sepuluh juta
dan bermaksud membagikan sepeda pada sepuluh orang maka anda dapat memberikan setiap
orang sepeda yang harganya sejuta. Kalau ternyata jumlah orang yang
menginginkan sepeda bertambah menjadi 20 orang, sepeda yang harus dibagikan berharga
lima ratus ribu. Bagaimana kalau ternyata kedua puluh orang itu tetap minta
sepeda dengan harga sejuta? Pertama, anda menambah anggaran menjadi dua puluh
juta. Kalau tidak dapat menambah anggaran maka alternatifnya berikan sepeda
dengan harga sejuta tetapi anda hanya membantu lima ratus ribu, kekurangannya
silahkan yang bersangkutan cari sendiri.
Solusi untuk Kotawaringin Barat
Untuk mengatasi masalah jamkesda di Kotawaringin Barat maka tidak
ada jalan lain kecuali menyelenggarakannya dengan sistem asuransi sosial. Bagaimana
caranya? Kalau mau sedikit repot buat BPJS kalau mau gampangnya serahkan saja ke
P.T. Askes, masalahnya P.T. Askes hanya memberikan jaminan pelayanan kesehatan dan
tidak melayani jaminan social lainnya seperti santuanan kematian, kecelakaan,
apalagi tunjangan hari tua.
Tabel
Peserta Asuransi Kesehatan di Kotawaringin Barat (Perkiraan)
Jenis
|
Jumlah Peserta (jiwa)
|
Jamkesmas
|
43.000
|
Askes
|
15.000
|
Asabri
|
4.000
|
Jamsostek
|
3.000
|
Asuransi
Lain
|
5.000
|
Jumlah
|
70.000
|
Jumlah penduduk Kotawaringin Barat 235 ribu jiwa, artinya ada 165
ribu jiwa yang belum terlindungi asuransi. InilahpPengguna SKTM selama ini,
ditambah peserta jamkesmas dan jamsostek yang ikut-ikutan mengurus SKTM karena
pertimbangan kepraktisan. Masalah utama pengembangan sistem jaminan sosial di
Kotawaringin Barat adalah bagaimana mengasuransikan ke-165 ribu jiwa ini. Kalau
merujuk pada premi yang ditawarkan P.T. Askes untuk masyarakat tidak mampu di
daerah lain yakni sepuluh ribu rupiah perjiwa perbulan maka dibutuhkan anggaran
1,65 milyar rupiah perbulan atau 19,8 milyar pertahun. Perlu dicatat bahwa
hitungan premi sepuluh ribu adalah hitungan minimal, artinya layanan kesehatan
yang didapat sangat minimalis alias banyak yang tidak ditanggung tetapi
setidaknya tugas pemerintah kabupaten menyediakan layanan kesehatan minimal selesai.
Lalu siapa yang akan menyediakan 19,8 milyar itu? Ada lima
alternatif yang dapat dipilih. Alternatif pertama, semuanya ditanggung
pemerintah kabupaten. Tahun 2011, ada 5 milyar anggaran jamkesda dan
jamkesdaduk di RSUD dan Dinas Kesehatan yang dapat dialihkan untuk membayar
premi. Kalau disepakati, anggaran bantuan sosial tahun 2011 yang 13 milyar
dapat dialihkan pula untuk membayar premi. Tinggal meyakinkan tokoh masyarakat
dan tokoh agama bahwa bantuan sosial untuk rumah ibadah ditiadakan, sebagai
gantinya seluruh masyarakat Kotawaringin Barat kalau sakit tidak perlu
mengeluarkan biaya atau setidak-tidaknya sebagian biaya ditanggung asuransi.
Kalau penjelasannya memadai masyarakat, kemungkinan besar akan diterima.
Berikan pemahaman bahwa kalau sebuah bangunan ibadah tidak selesai, tidak akan ada
yang meninggal dan biarlah pembangunan rumah ibadah itu ditanggung oleh komunitasnya.
Kalau dapat terlaksana, akan terkumpul anggaran 18 milyar. Kekurangan 1,8
milyar dapat dicari dengan menunda program yang tidak terlalu prioritas.
Kalau pemerintah kabupaten merasa berat, alternatif kedua dapat
dicoba. Pemerintah Kabupaten duduk bersama dengan Pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah membicarakan sharing pembiayaan dengan pertimbangan
masyarakat Kotawaringin Barat juga masyarakat Kalimantan Tengah. Kelemahan
alternatif pertama dan kedua peserta jaminan kesehatan yang tidak bersifat
wajib kemungkinan akan berhenti dengan pertimbangan pada akhirnya akan ditanggung
pemerintah.
Alternatif ketiga membagi beban premi dengan masyarakat mengingat
165 ribu jiwa tersebut sebagian berkategori mampu atau bekerja di perusahaan.
Sharing premi antara pemerintah dan masyarakat dapat menggunakan skenario
sebagai berikut. Bagi yang pendapatan keluarganya dibawah atau sama dengan 500
ribu rupiah perbulan seluruh preminya dibayar pemerintah. Setiap kenaikan pendapatan
200 ribu rupiah, masyarakat bertanggung jawab membayar seribu rupiah sebagai
sharing premi. Dengan demikian, masyarakat yang berpendapatan Rp. 2.500.000
harus menanggung sendiri seluruh premi. Kalau keluarga tersebut terdiri dari
empat orang, hanya perlu menyisihkan 40 ribu rupiah perbulan atau sama dengan
empat bungkus rokok.
Alternatif keempat, anggaran jamkesda dan jakesdaduk dipakai
membayar premi penduduk dengan pendapatnnya paling rendah diantara 165 ribu
jiwa yang tidak memiliki asuransi. Anggaran 5 milyar yang ada akan cukup untuk
membayar premi 40 ribu jiwa selama setahun. Masih ada 125.000 jiwa lagi yang
belum diasuransikan dan perlu dibicarakan dengan duduk bersama dengan
pengusaha. Perusahaan diminta untuk mengasuransikan pegawainya baik dengan
premi yang dibayar penuh oleh perusahaan maupun sharing antara pemberi kerja
dengan pekerjanya. Sisa masyarakat yang tidak bekerja di sektor formal dapat
diatasi dengan memanfaatkan Corporate Social Responsibility (CSR) yang
merupakan kewajiban perusahaan. Contoh, setiap perkebunan sawit swasta besar
diminta menanggung premi satu jiwa penduduk untuk setiap satu ha kebun yang
dimilikinya. Menurut informasi dari sumber yang dapat dipercaya, setiap satu ha
kebun sawit memberikan keuntungan minimal satu juta rupiah perbulan maka premi
sepuluh ribu rupiah hanya satu persen dari keuntungan, masih jauh dari batas
minimal CSR yang disyaratkan. Ada berapa berapa ratus ribu ha kebun sawit di
wilayan Kotawaringin Barat. Kalau masih ada juga yang belum terlindungi
asuransi, ajak lagi perusahaan lainnya atau kalau perlu setiap satu keluarga
yang berkecukupan diminta menanggung satu jiwa tetangganya yang tidak mampu.
Alternatif kelima adalah pemerintah menggunakan anggaran jamkesda
dan jamkesdaduk untuk mengasuransikan 40 ribu jiwa penduduk tidak mampu yang
tidak masuk kuota jamkesmas. Sisanya silahkan membayar sendiri baik melalui
BPJS Kotawaringin Barat atau melalui asuransi sosial lainnya seperti P.T. Askes
dan P.T. Jamsostek. Apapaun alternatif yang dipilih, pemerintah kabupaten dapat
memberikan bonus pada peserta dengan menggunakan anggaran sebesar dua ratus
juta pada Dinas Sosial untuk asuransi kematian.
·
Alumnus Pasca Sarjana University
of Southern California Los Angeles
No comments:
Post a Comment