BLUD SEBAGAI SARANA
PENINGKATAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT
Oleh Suyuti Syamsul
Tugas
pemerintah daerah adalah melindungi, memberdayakan dan memberi pelayanan pada
masyarakat. Masyarakat menuntut pelayanan publik yang terukur, rasional,
relevan dan tepat waktu tanpa mau tahu sstem penganggaran yang tidak
memungkinkan mengakomodir tuntutan tersebut. Sebagai perangkat daerah,
pengelolaan keuangan/barang RSUD tunduk pada berbagai peraturan yang berlaku.
Dalam sistem penganggaran yang berlaku selama ini, agar dapat mempertahankan
pelayanan tetap berlangsung maka pengelola RSUD harus melanggar aturan agar
barang dan jasa untuk keperluan operasioanal pada awal tahun tetap
tersedia. Hal ini terpaksa dilakukan
mengingat aturan yang ada mengharuskan persedian barang dan jasa untuk
keperluan operasional diadakan untuk menunjang kegiatan satu tahun anggaran
yang habis pada tanggal 30 Desember. Agar pada tanggal 1 Januari RSUD tetap dapat
beroperasional maka pengelola harus meminjam padahal sesuai peraturan yg ada,
SKPD dilarang meminjam.
Esensi
Penerapan Pola Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) untuk menjawab
kecepatan pelayanan tanpa harus melanggar aturan yang ada. Agar tidak melanggar
aturan PPK-BLUD diberikan fleksibilitas penggunaan anggaran dan pengadaan
barang/jasa utk meningkatkan pelayanan dan efisiensi anggaran.
Lampiran
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2012 Angka Romawi V
Hal-Hal Khusus Lainnya Angka 20, Dalam pasal 69 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2004 ditegaskan bahwa SKPD atau unit kerja pada SKPD yang memiliki spesifikasi
tekhnis dibidang layanan umum, diberikan fleksibilitas dalam Pola Pengelolaan Keuangannya
dalam bentuk Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD). Dalam PPK-BLUD, pemerintah
daerah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam
rangka peningkatan kualitas pelayanan umum kepada masyarakat, pemerintah daerah
agar segera melakukan evaluasi kepada SKPD atau unit kerja pada SKPD yang tugas
dan fungsinya secara operasional memberi pelayanan kepada masyarakat untuk
menerapkan PPK-BLUD. Khusus bagi Rumah Sakit Daerah yang belum menerapkan
PPK-BLUD, agar memperhatikan pasal 7 ayat (3) dan pasal 20 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi
dan mengakomodasi dalam penyiapan dokumen administratif sebagaimana
dipersyaratkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2007 tentang
Pedoman Tekhnis PPK-BLUD.
b. Bagi
SKPD atau unit kerja SKPD yang telah menerapkan PPK-BLUD, agar:
a)
Penyusunan kerja dan anggaran dalam APBD menggunakan
format Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA);
b)
Konsolidasi RBA dengan peraturan daerah tentang
APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD sampai pada jenis belanja; dan
c)
Sistem keuangan untuk BLUD, agar dibuat format
tersendiri.
c. Bagi
SKPD atau unit kerja SKPD yang menerapkan PPK-BLUD setelah peraturan daerah tentang
APBD ditetapkan, pelaksanaan anggaran tetap mempergunakan RKA/DPA-SKPD sampai
tahun anggaran berkenaan berakhir, untuk selanjutnya mempergunakan
RBA/DPA-BLUD.
Penerapan
PPK-BLUD akan menabrak beberapa peraturan dan perundangan-undangan yang
berlaku. Sering timbul pertanyaan, apakah surat keputusan kepala daerah tentang
penetapan SKPD dengan PPK-BLUD dapat dijadikan landasan hukum untuk melakukan
pengecualian-pengecualian terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi. Apalagi dasar surat keputusan kepala daerah tersebut hanya didasarkan
pada peraturan menteri dalam negeri yang dalam hirarki undang-undang tidak
dikenal. Kalau melihat prinsip hukum yang berlaku bahwa lex generalis (aturan
umum) tunduk pada lex spesialis (aturan khusus) maka tidak perlu menjadi
masalah. Lagi pula peraturan menteri dalam negeri dan surat keputusan kepala daerah adalah omnibus
regulation atau muara dari berbagai undang-undang.
Mengapa Undang-Undang Mewajibkan RSUD
Dikelola dengan Pola PPK-BLUD
Pemerintah
melalui Kementerian Dalam Negeri berupaya mendorong agar pemerintah daerah
memfasilitas penerapan pola PPK-BLUD pada RSUD. Hasil dari upaya tersebut dapat dilihat dari data yg telah
menerapkan pola PPK-BLUD yaitu 313 dari 440 RSUD yang ada diseluruh Indonesia atau
tinggal 127 (28,9 %) yang belum menerapkannya. Sebagian dari RSUD yang telah
menerapkan pola PPK-BLUD adalah RSUD baru yang berada pada daerah pemekaran. (sumber:
Ir. Bejo Mulyono, MML Sub Direktorat BLUD Kemeterian Dalam Negeri). Upaya
pemerintah mendorong SKPD yang tugas pokok dan fungsinya memberikan layanan
publik khususnya RSUD untuk secepatnya menerapkan PPK-BLUD dapat dipahami mengingat
korban utama sistem penganggaran klasik seperti saat ini adalah RSUD.
Jika
mengikuti aturan secara ketat, maka pada tanggal 1 Januari RSUD harus ditutup
karena tidak memiliki persediaan barang dan jasa untuk menunjang kelangsungan
operasionalnya. Belum lagi proses penyediaan barang dan jasa yang memakan waktu
lama maka seyogyanya sesuai ketentuan, RSUD baru dapat memulai operasionalnya
paling cepat bulan Maret. Minimnya alokasi anggaran yang ada pada APBD hanya
mampu mempertahankan peyediaan obat/bahan habis pakai (BHP) paling lama sampai
bulan oktober, sehingga untuk memenuhi kebutuhan perlu dilakukan peminjaman
yang akan dibayar melalui APBD Perubahan dengan catatan terdapat tambahan
alokasi anggaran.
Siapa yang Diuntungkan
Setiap
perubahan tentu akan menimbulkan pertanyaan siapa yang akan diuntungkan. Bagi
direksi dan manajemen RSUD, keuntungan terbesarnya adalah kewajiban untuk
menyediakan obat dan BHP setiap awal tahun dapat dipenuhi tanpa melanggarr
aturan. Selain itu, tenaga yang tidak mungkin dipenuhi melalui formasi CPNS seperti
tukang cuci, tukang masak, pendorong pasien serta beberapa pos kerja lainnya
akan ditutup melalui pengangkatan non PNS yang digaji sendiri oleh RSUD. Untuk
menutupi kebutuhan tenaga pada pos-pos tersebut, selama ini diatasi dengan mengangkat
Tenaga Kerja Sukarela (TKS) yang digaji sendiri oleh direktur RSUD. Kemampuan
direktur menggaji TKS sangat terbatas sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
volume pekerjaan dengan jumlah tenaga yang tersedia yang berakibat terjadi
penurunan kuantitas dan kualitas layanan. Selain itu, RSUD dapat melakukan
kerjasama operasional (KSO) dengan distributor alat kesehatan untuk penyediaan fasilitas
yang tidak mungkin dibeli melaui APBD karena keterbatasan anggaran. Melalui KSO,
RSUD dapat memiliki berbagai fasilitas mutakhir dengan biaya pemeliharaan yang
ditanggung oleh distributor. Kewajiban RSUD hanya menjamin akan membeli BHP
dari distributor alat kesehatan tersebut selama memakai alatnya.
Bagi
karyawan RSUD, perubahan ini akan berdampak pada tercapainya rasio ideal
pasien-petugas. Salah satu masalah laten ketidak seimbangan rasio pasien-petugas dapat dilihat diruangan
bersalin. Seyogyanya satuan jaga bidan yang melayani perawatan ibu dan yang
menolong persalinan harus dipisah untuk mengurangi keluhan pasien. Karena
satuan tugasnya digabung sementara setiap jadwal jaga maksimal hanya tiga orang
bidan yang dapat ditugaskan maka rasio bidan-pasien sering mencapai 1 bidan
melayani 11 pasien. Ketika ada satu pasien yang bersalin dibutuhkan minimal dua
bidan untuk menolongnya sehingga tersisa hanya satu bidan efektif untuk
melayani 32 pasien lainnya. Untuk membentuk satu satuan baru jaga bidan maka
diperlukan minimal 12 orang tambahan tenaga, ditengah keterbatasan formasi CPNS
tentu sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan tenaga. Demikian halnya imbalan
jasa yang diterima karyawan dapat dibayar tepat waktu setiap bulan tanpa perlu
menunggu berbulan-bulan seperti saat ini karena anggaran tersedia setiap saat pada
kas RSUD. Pembayaran hak karyawan yang tepat waktu tentu akan berdampak positif
pada peningkatan pelayanan.
Lalu
apa untungnya bagi pasien! Bagi yang pernah berobat/dirawat di RSUD tentu
pernah merasakan betapa repotnya urusan obat. Ketika masuk UGD, bagi yang tidak
membawa uang tunai maka apotik akan meminta jaminan terlebih dahulu. Bayangkan
bagaimana pasien kecelakaan lalulintas atau pasien mendadak sakit tanpa
persiapan uang tunai yang mencukupi. Pasien rawat inap harus bolak-balik
menebus tunai setiap resep di apotik. Pasien Askes harus keluar RSUD untuk
mendapatkan obat yang juga belum tentu tersedia secara memadai.
Sebagian
besar masyarakat tidak dapat memahami mengapa hal ini terjadi di RSUD dan
sedikit banyaknya sangat merusak reputasi RSUD sebagai pemberi layanan publik.
Hanya segilintir masyarakat yang paham bahwa hal tersebut terjadi karena
persoalan sistem penganggaran dan ketersediaan anggaran. Sistem yang ada saat
ini mengharuskan setiap rupiah pendapatan RSUD yang diterima harus disetorkan
secara bruto ke Kas Umum Daerah dan terbatasnya anggaran yang ada membuat RSUD
tidak dapat berbuat banyak. Kalau RSUD nekat mengatasi sendiri persoalan obat
untuk pasien maka dalam waktu dua bulan apotik RSUD akan tutup sebab tidak ada
uang tersedia untuk belanja obat bulan berikutnya. Agar masyarakat terlayani
maka RSUD terpaksa bekerjasama dengan apotik pelengkap yang dimiliki pihak lain
karena pihak lain tersebut tidak terikat dengan sistem penganggaran yang
berlaku.
Dengan
tidak dikuasainya pengelolaan obat sepenuhnya oleh RSUD maka dambaan hampir
setiap orang agar pasien dapat diberikan obat di UGD tanpa jaminan terlebih
dahulu, tidak perlu menebus tunai setiap resep yang ada dan pasien askes dapat
menikmati haknya mendapatkan obat dalam DPHO masih jauh panggang dari api.
Untuk meminimalkan dampak merugikan ini, RSUD melalui instalasi farmasinya berusaha
menyediakan obat generik dan obat standar namun karena anggaran yang terbatas maka
ketersediaanya tidak dapat dijamin. Langkah lain yang diambil direksi adalah
memberikan jaminan personal agar apotik pelengkap meminjami obat terlebih
dahulu pada pasien. Tentu saja jaminan personal ini memiliki resiko finansial
jika terjadi gagal bayar karena yang akan membayar adalah penjamin. Karena
jaminan personal, tentu tidak dapat dibuatkan prosedur Standar Operasional
tetapi diselesaikan kasus per kasus.
Hampir
semua masyarakat berharap tidak dimintai jaminan untuk mendapatkan obat di UGD,
tidak harus menebus tunai setiap resep ketika dirawat, dan berbagai harapan
lainnya menyangkut layanan obat yang manusiawi dan terjangkau. Untuk mewujudkan
harapan ini, maka satu-satunya jalan adalah mengabungkan tagihan pelayanan
rumah sakit dengan tagihan obat sebagai satu kesatuan. Hal ini dapat dicapai
ketika sistem memungkinkan dengan penerapan pola PPK-BLUD. Karena sistem
PPK-BLUD memungkinkan penguasaan sepenuhnya obat di RSUD oleh direksi, ketika
ada masyarakat tidak dapat membayar tagihannya maka tinggal membuat surat
pernyataan berutang ke RSUD untuk menjamin prinsip akuntabilitas. Agar tidak
menjadi beban masyarakat selamanya maka sebaiknya direktur diberikan kewenangan
untuk menghapus utang masyarakat setelah mencapai jangka waktu tertentu.
Melalui
pola PPK-BLUD program pemerintah seperti Jamkesmas dan Jampersal dapat dikelola
dengan lebih baik sebab klaim biaya pelayanan yang dibayar pemerintah dapat
dipergunakan langsung tanpa harus disetorkan ke APBD terlebih dahulu untuk belanja
obat dan BHP. Sesuai ketentuan yang ada,
seluruh biaya pelayanan kesehatan termasuk obat dan BHP untuk pasien jamkesmas
dan jampersal termasuk pasien rujukan dari daerah lain menjadi tanggungan RSUD.
Kebutuhan obat pasien jamkesmas selama ini sebagian besar diambilkan dari
program jamkesda termasuk biaya penganggtian pengolahan darah ke PMI.
Seandainya klaim jamkesmas dapat dipergunakan langsung maka dengan jumlah
anggaran jamkesda yang ada saat ini akan mampu menanggung lebih banyak
masyarakat tidak mampu yang tidak masuk kuota jamkesmas. Lebih serius lagi
adalah pasien jampersal yang terpaksa harus menebus sendiri sebagian besar obatnya
karena obat standar yang tersedia di RSUD sangat terbatas menyesuaikan
ketersediaan anggaran. Pasien askes harus menebus obatnya pada apotik luar karena
sistem yang ada saat ini tidak memungkinkan RSUD membeli langsung pada rekanan
askes.
Keterbatasan
anggaran juga membuat hampir semua BHP untuk pasien harus diresepkan. Padahal
sesuai ketentuan Perda Kabupaten Kotawaringin Barat Nomor 8 tahun 2009 tentang
Tarif Layanan Kesehatan di RSUD Sultan Imanuddin Pangakalan Bun mengamanahkan BHP
tertentu sudah termasuk dalam komponen tarif, tidak perlu ditebus secara
tersendiri oleh pasien. BHP yang tidak pernah cukup menyababkan pada saat
tertentu BHP seperti betadin, sarung tangan, dan beberapa jenis lainnya
terpaksa diresepkan. Keterbatasan anggaran memaksa direksi RSUD membuat prioritas
untuk mencukupi BHP yang tidak mungkin diresepkan baik karena tidak tersedia
dipasaran bebas maupun pada aspek keadilannya sebab yang dibutuhkan sedikit
seperti reagen utk pemeriksaan laboratorium dan film rontgen. Akibatnya pasien
merasa biaya kesehatan sangat mahal karena setiap BHP harus ditebus.
Pengawasan PPK-BLUD
Masalah
kunci lainnya pada PPK-BLUD adalah siapa yang akan mengawasi. Bagaimana fungsi
dan peran DPRD terhadap PPK-BLUD. Sampai saat ini, masih banyak pihak yang
belum mehami secara utuh apa itu PPK-BLUD. Penerapan PPK-BLUD dipandang sebagai privatisasi, pemisahan diri dari
pemerintah daerah yang akan berdampak kekuasaan direksi yang sangat besar. Kesimpan siuran inilah apalagi informasi
melalui media massa yang sering dipenggal dan tidak utuh yang menyebabkan
resistensi cukup tinggi.
Perlu
digaris bawahi bahwa penerapan PPK-BLUD tidak merubah satus, tugas pokok dan
fungsi serta kelembagaan RSUD. Aset
PPK-BLUD tidak dipisahkan dari aset daerah dengan demikian RSUD bukanlah BUMD
yang pendapatan dan belanjanya tidak ditetapkan oleh DPRD. Itu sebabnya mengapa
dalam peraturan perundang-undangan, penerapan pola PPK-BLUD cukup membutuhkan
surat keputusan kepala daerah setelah dilakukan penilaian oleh Tim Penilai yang
dibentuk oleh Kepala Daerah. Bagaimana hubungan antara RSUD setelah menerapkan
pola PPK-BLUD adalah persis sama dan sebangun dengan hubungan RSUD dengan
pemerintah daerah saat ini. Karena hubungan
pemerintah daerah dengan RSUD tidak berubah, maka hubungan RSUD dengan
DPRD terkait dengan penetapan anggaran (pendapatan dan belanja) dan pegawasan
juga tidak berubah. RBA-SKPD sebagai pengganti
RKA-SKPD sebelum dapat dipergunakan harus dibahas, disetujui dan ditetapkan oleh
DPRD. Karena pola PPK-BLUD memberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan, maka
RSUD dapat berbelanja untuk keperluan operasional dengan catatan tidak
melampaui anggaran tahun sebelumnya sebesar nilai ambang batas yang dinyatakan
dalam persentese sebelum RBA-SKPD ditetapkan oleh DPRD baik APBD murni maupun
APBD perubahan. Dengan demikian anggapan
yang mengatakan bahwa RSUD dapat menggunakan anggaran tanpa persetujuan DPRD
tidak memiliki dasar sama sekali.
Pada
RBA-SKPD hanya ada satu program RSUD yaitu program peningkatan pelayanan
kesehatan pada masyarakat yang kemudian dirinci dalam bentuk kegiatan-kegiatan.
Karena model penganggarannya lebih sederhana hanya sampai tiga tingkat, maka
dalam satu kegiatan yang sama direktur dapat melakukan pergesaran anggaran
mendahului penetapan APBD-P untuk menjamin kelangsungan pelayanan. Setiap
pergeseran anggaran yang mendahului penetapan APBD-P akan dikonsolidasikan
dengan DPKD untuk ditetapkan pada APBD-P. Laporan pelaksanaan anggaran oleh
RSUD akan dikonsolidasikan dengan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
oleh kepala daerah. Jika terdapat uang sisa operasioanal yang tersimpang di kas
RSUD, maka dalam laporan keuangan daerah khusunya SILPA akan diberikan keterangan tambahan
misalnya Rp. 100 juta berada pada kas RSUD.
Selain
pengawasan oleh DPRD, sebagaimana SKPD lainnya, laporan keuangan RSUD akan
diperiksa oleh BPK dan diawasi oleh Inspektorat. Namun berbeda dengan SKPD lainnya,
RSUD juga harus bersedia di audit oleh Akuntan Publik dan kepala daerah akan
mengawasi RSUD secara langsung dengan mengangkat dewan pengawas yang dibentuk
oleh kepala daerah. Tambahan pengawasan yg diberikan kepada SKPD dengan pola
PPK-BLUD dapat dimaklumi sebagai konsekwensi fleksibilitas penggunaan anggaran.
Perlu digaris bawahi bahwa pemberian fleksibilitas penggunaan anggaran hanya
diperbolehkan untuk anggaran yang berasal dari pendapatan operasional RSUD yang
merupakan pembayaran masyarakat. Belanja yang tidak berasal dari pendapatan
operasional (DAU/DAK/Tugas Perbantuan/Bagi Hasil dan sebagainya) tetap tunduk
pada ketentuan yang berlaku selama ini termasuk Peraturan Presiden Nomor 54
tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Pendapatan operasional sendiri
akan dicatatkan pada pos pendapatan asli daerah lainnya oleh BLUD pada APBD.
Muncul
kemudian pertanyaan, jika kewenangan direktur RSUD dengan pola PPK-BLUD
sedemikian besarnya, apakah tidak
mungkin terjadi penyalahgunaan kewenangan. Bahwa penyalahgunaan
kewenangan tentu saja dapat terjadi sebagaimana halnya pada SKPD lainnya. Untuk
menimilkan resiko tersebut maka selain adanya tambahan pengawasan oleh dewan
pengawas serta kesediaan untuk diaudit oleh akuntan publik , direktur RSUD
diikat oleh peraturan kepala daerah dalam bentuk petunjuk tekhnis tata kelola. Melalui petunjuk tekhnis inilah, kepala
daerah dapat (tidak harus) mendelegasikan kewenangannya pada direktur RSUD,
sekaligus memberikan batasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam
mengelola PPK-BLUD RSUD. Sekalipun kepala daerah telah mendelegasikan
kewenangannya, namun untuk kebijakan yang bersifat strategis seperti investasi,
pemanfaatan sisa anggaran di Kas RSUD dan kebijakan strategis lainnya harus
mendapar persetujuan dari kepala daerah atau minimal oleh dewan pengawas.
No comments:
Post a Comment