Sunday, January 29, 2012

Badan Layanan Umum Sarana Peningkatan Pelayanan Masyarakat


BLUD SEBAGAI SARANA PENINGKATAN PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT
Oleh Suyuti Syamsul
Tugas pemerintah daerah adalah melindungi, memberdayakan dan memberi pelayanan pada masyarakat. Masyarakat menuntut pelayanan publik yang terukur, rasional, relevan dan tepat waktu tanpa mau tahu sstem penganggaran yang tidak memungkinkan mengakomodir tuntutan tersebut. Sebagai perangkat daerah, pengelolaan keuangan/barang RSUD tunduk pada berbagai peraturan yang berlaku. Dalam sistem penganggaran yang berlaku selama ini, agar dapat mempertahankan pelayanan tetap berlangsung maka pengelola RSUD harus melanggar aturan agar barang dan jasa untuk keperluan operasioanal pada awal tahun tetap tersedia.  Hal ini terpaksa dilakukan mengingat aturan yang ada mengharuskan persedian barang dan jasa untuk keperluan operasional diadakan untuk menunjang kegiatan satu tahun anggaran yang habis pada tanggal 30 Desember. Agar pada tanggal 1 Januari RSUD tetap dapat beroperasional maka pengelola harus meminjam padahal sesuai peraturan yg ada, SKPD dilarang meminjam.
Esensi Penerapan Pola Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) untuk menjawab kecepatan pelayanan tanpa harus melanggar aturan yang ada. Agar tidak melanggar aturan PPK-BLUD diberikan fleksibilitas penggunaan anggaran dan pengadaan barang/jasa utk meningkatkan pelayanan dan efisiensi anggaran.
Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2012 Angka Romawi V Hal-Hal Khusus Lainnya Angka 20, Dalam pasal 69 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 ditegaskan bahwa SKPD atau unit kerja pada SKPD yang memiliki spesifikasi tekhnis dibidang layanan umum, diberikan fleksibilitas dalam Pola Pengelolaan Keuangannya dalam bentuk Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD). Dalam PPK-BLUD, pemerintah daerah memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.       Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan umum kepada masyarakat, pemerintah daerah agar segera melakukan evaluasi kepada SKPD atau unit kerja pada SKPD yang tugas dan fungsinya secara operasional memberi pelayanan kepada masyarakat untuk menerapkan PPK-BLUD. Khusus bagi Rumah Sakit Daerah yang belum menerapkan PPK-BLUD, agar memperhatikan pasal 7 ayat (3) dan pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi dan mengakomodasi dalam penyiapan dokumen administratif sebagaimana dipersyaratkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Tekhnis PPK-BLUD.
b.      Bagi SKPD atau unit kerja SKPD yang telah menerapkan PPK-BLUD, agar:
a)      Penyusunan kerja dan anggaran dalam APBD menggunakan format Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA);
b)      Konsolidasi RBA dengan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang  penjabaran APBD sampai pada jenis belanja; dan
c)       Sistem keuangan untuk BLUD, agar dibuat format tersendiri.
c.       Bagi SKPD atau unit kerja SKPD yang menerapkan PPK-BLUD setelah peraturan daerah tentang APBD ditetapkan, pelaksanaan anggaran tetap mempergunakan RKA/DPA-SKPD sampai tahun anggaran berkenaan berakhir, untuk selanjutnya mempergunakan RBA/DPA-BLUD.
 

Penerapan PPK-BLUD akan menabrak beberapa peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku. Sering timbul pertanyaan, apakah surat keputusan kepala daerah tentang penetapan SKPD dengan PPK-BLUD dapat dijadikan landasan hukum untuk melakukan pengecualian-pengecualian terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apalagi dasar surat keputusan kepala daerah tersebut hanya didasarkan pada peraturan menteri dalam negeri yang dalam hirarki undang-undang tidak dikenal. Kalau melihat prinsip hukum yang berlaku bahwa lex generalis (aturan umum) tunduk pada lex spesialis (aturan khusus) maka tidak perlu menjadi masalah. Lagi pula peraturan menteri dalam negeri  dan surat keputusan kepala daerah adalah omnibus regulation atau muara dari berbagai undang-undang.
Mengapa Undang-Undang Mewajibkan RSUD Dikelola dengan Pola PPK-BLUD
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri berupaya mendorong agar pemerintah daerah memfasilitas penerapan pola PPK-BLUD pada RSUD. Hasil dari  upaya tersebut dapat dilihat dari data yg telah menerapkan pola PPK-BLUD yaitu 313 dari 440 RSUD yang ada diseluruh Indonesia atau tinggal 127 (28,9 %) yang belum menerapkannya. Sebagian dari RSUD yang telah menerapkan pola PPK-BLUD adalah RSUD baru yang berada pada daerah pemekaran. (sumber: Ir. Bejo Mulyono, MML Sub Direktorat BLUD Kemeterian Dalam Negeri). Upaya pemerintah mendorong SKPD yang tugas pokok dan fungsinya memberikan layanan publik khususnya RSUD untuk secepatnya menerapkan PPK-BLUD dapat dipahami mengingat korban utama sistem penganggaran klasik seperti saat ini adalah RSUD.
Jika mengikuti aturan secara ketat, maka pada tanggal 1 Januari RSUD harus ditutup karena tidak memiliki persediaan barang dan jasa untuk menunjang kelangsungan operasionalnya. Belum lagi proses penyediaan barang dan jasa yang memakan waktu lama maka seyogyanya sesuai ketentuan, RSUD baru dapat memulai operasionalnya paling cepat bulan Maret. Minimnya alokasi anggaran yang ada pada APBD hanya mampu mempertahankan peyediaan obat/bahan habis pakai (BHP) paling lama sampai bulan oktober, sehingga untuk memenuhi kebutuhan perlu dilakukan peminjaman yang akan dibayar melalui APBD Perubahan dengan catatan terdapat tambahan alokasi anggaran.
Siapa yang Diuntungkan
Setiap perubahan tentu akan menimbulkan pertanyaan siapa yang akan diuntungkan. Bagi direksi dan manajemen RSUD, keuntungan terbesarnya adalah kewajiban untuk menyediakan obat dan BHP setiap awal tahun dapat dipenuhi tanpa melanggarr aturan. Selain itu, tenaga yang tidak mungkin dipenuhi melalui formasi CPNS seperti tukang cuci, tukang masak, pendorong pasien serta beberapa pos kerja lainnya akan ditutup melalui pengangkatan non PNS yang digaji sendiri oleh RSUD. Untuk menutupi kebutuhan tenaga pada pos-pos tersebut, selama ini diatasi dengan mengangkat Tenaga Kerja Sukarela (TKS) yang digaji sendiri oleh direktur RSUD. Kemampuan direktur menggaji TKS sangat terbatas sehingga terjadi ketidakseimbangan antara volume pekerjaan dengan jumlah tenaga yang tersedia yang berakibat terjadi penurunan kuantitas dan kualitas layanan. Selain itu, RSUD dapat melakukan kerjasama operasional (KSO) dengan distributor alat kesehatan untuk penyediaan fasilitas yang tidak mungkin dibeli melaui APBD karena keterbatasan anggaran. Melalui KSO, RSUD dapat memiliki berbagai fasilitas mutakhir dengan biaya pemeliharaan yang ditanggung oleh distributor. Kewajiban RSUD hanya menjamin akan membeli BHP dari distributor alat kesehatan tersebut selama memakai alatnya.
Bagi karyawan RSUD, perubahan ini akan berdampak pada tercapainya rasio ideal pasien-petugas. Salah satu masalah laten ketidak seimbangan rasio  pasien-petugas dapat dilihat diruangan bersalin. Seyogyanya satuan jaga bidan yang melayani perawatan ibu dan yang menolong persalinan harus dipisah untuk mengurangi keluhan pasien. Karena satuan tugasnya digabung sementara setiap jadwal jaga maksimal hanya tiga orang bidan yang dapat ditugaskan maka rasio bidan-pasien sering mencapai 1 bidan melayani 11 pasien. Ketika ada satu pasien yang bersalin dibutuhkan minimal dua bidan untuk menolongnya sehingga tersisa hanya satu bidan efektif untuk melayani 32 pasien lainnya. Untuk membentuk satu satuan baru jaga bidan maka diperlukan minimal 12 orang tambahan tenaga, ditengah keterbatasan formasi CPNS tentu sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan tenaga. Demikian halnya imbalan jasa yang diterima karyawan dapat dibayar tepat waktu setiap bulan tanpa perlu menunggu berbulan-bulan seperti saat ini karena anggaran tersedia setiap saat pada kas RSUD. Pembayaran hak karyawan yang tepat waktu tentu akan berdampak positif pada peningkatan pelayanan.
Lalu apa untungnya bagi pasien! Bagi yang pernah berobat/dirawat di RSUD tentu pernah merasakan betapa repotnya urusan obat. Ketika masuk UGD, bagi yang tidak membawa uang tunai maka apotik akan meminta jaminan terlebih dahulu. Bayangkan bagaimana pasien kecelakaan lalulintas atau pasien mendadak sakit tanpa persiapan uang tunai yang mencukupi. Pasien rawat inap harus bolak-balik menebus tunai setiap resep di apotik. Pasien Askes harus keluar RSUD untuk mendapatkan obat yang juga belum tentu tersedia secara memadai.
Sebagian besar masyarakat tidak dapat memahami mengapa hal ini terjadi di RSUD dan sedikit banyaknya sangat merusak reputasi RSUD sebagai pemberi layanan publik. Hanya segilintir masyarakat yang paham bahwa hal tersebut terjadi karena persoalan sistem penganggaran dan ketersediaan anggaran. Sistem yang ada saat ini mengharuskan setiap rupiah pendapatan RSUD yang diterima harus disetorkan secara bruto ke Kas Umum Daerah dan terbatasnya anggaran yang ada membuat RSUD tidak dapat berbuat banyak. Kalau RSUD nekat mengatasi sendiri persoalan obat untuk pasien maka dalam waktu dua bulan apotik RSUD akan tutup sebab tidak ada uang tersedia untuk belanja obat bulan berikutnya. Agar masyarakat terlayani maka RSUD terpaksa bekerjasama dengan apotik pelengkap yang dimiliki pihak lain karena pihak lain tersebut tidak terikat dengan sistem penganggaran yang berlaku.
Dengan tidak dikuasainya pengelolaan obat sepenuhnya oleh RSUD maka dambaan hampir setiap orang agar pasien dapat diberikan obat di UGD tanpa jaminan terlebih dahulu, tidak perlu menebus tunai setiap resep yang ada dan pasien askes dapat menikmati haknya mendapatkan obat dalam DPHO masih jauh panggang dari api. Untuk meminimalkan dampak merugikan ini, RSUD melalui instalasi farmasinya berusaha menyediakan obat generik dan obat standar namun karena anggaran yang terbatas maka ketersediaanya tidak dapat dijamin. Langkah lain yang diambil direksi adalah memberikan jaminan personal agar apotik pelengkap meminjami obat terlebih dahulu pada pasien. Tentu saja jaminan personal ini memiliki resiko finansial jika terjadi gagal bayar karena yang akan membayar adalah penjamin. Karena jaminan personal, tentu tidak dapat dibuatkan prosedur Standar Operasional tetapi diselesaikan kasus per kasus.
Hampir semua masyarakat berharap tidak dimintai jaminan untuk mendapatkan obat di UGD, tidak harus menebus tunai setiap resep ketika dirawat, dan berbagai harapan lainnya menyangkut layanan obat yang manusiawi dan terjangkau. Untuk mewujudkan harapan ini, maka satu-satunya jalan adalah mengabungkan tagihan pelayanan rumah sakit dengan tagihan obat sebagai satu kesatuan. Hal ini dapat dicapai ketika sistem memungkinkan dengan penerapan pola PPK-BLUD. Karena sistem PPK-BLUD memungkinkan penguasaan sepenuhnya obat di RSUD oleh direksi, ketika ada masyarakat tidak dapat membayar tagihannya maka tinggal membuat surat pernyataan berutang ke RSUD untuk menjamin prinsip akuntabilitas. Agar tidak menjadi beban masyarakat selamanya maka sebaiknya direktur diberikan kewenangan untuk menghapus utang masyarakat setelah mencapai jangka waktu tertentu.
Melalui pola PPK-BLUD program pemerintah seperti Jamkesmas dan Jampersal dapat dikelola dengan lebih baik sebab klaim biaya pelayanan yang dibayar pemerintah dapat dipergunakan langsung tanpa harus disetorkan ke APBD terlebih dahulu untuk belanja obat dan BHP.  Sesuai ketentuan yang ada, seluruh biaya pelayanan kesehatan termasuk obat dan BHP untuk pasien jamkesmas dan jampersal termasuk pasien rujukan dari daerah lain menjadi tanggungan RSUD. Kebutuhan obat pasien jamkesmas selama ini sebagian besar diambilkan dari program jamkesda termasuk biaya penganggtian pengolahan darah ke PMI. Seandainya klaim jamkesmas dapat dipergunakan langsung maka dengan jumlah anggaran jamkesda yang ada saat ini akan mampu menanggung lebih banyak masyarakat tidak mampu yang tidak masuk kuota jamkesmas. Lebih serius lagi adalah pasien jampersal yang terpaksa harus menebus sendiri sebagian besar obatnya karena obat standar yang tersedia di RSUD sangat terbatas menyesuaikan ketersediaan anggaran. Pasien askes harus menebus obatnya pada apotik luar karena sistem yang ada saat ini tidak memungkinkan RSUD membeli langsung pada rekanan askes.
Keterbatasan anggaran juga membuat hampir semua BHP untuk pasien harus diresepkan. Padahal sesuai ketentuan Perda Kabupaten Kotawaringin Barat Nomor 8 tahun 2009 tentang Tarif Layanan Kesehatan di RSUD Sultan Imanuddin Pangakalan Bun mengamanahkan BHP tertentu sudah termasuk dalam komponen tarif, tidak perlu ditebus secara tersendiri oleh pasien. BHP yang tidak pernah cukup menyababkan pada saat tertentu BHP seperti betadin, sarung tangan, dan beberapa jenis lainnya terpaksa diresepkan. Keterbatasan anggaran memaksa direksi RSUD membuat prioritas untuk mencukupi BHP yang tidak mungkin diresepkan baik karena tidak tersedia dipasaran bebas maupun pada aspek keadilannya sebab yang dibutuhkan sedikit seperti reagen utk pemeriksaan laboratorium dan film rontgen. Akibatnya pasien merasa biaya kesehatan sangat mahal karena setiap BHP harus ditebus.
Pengawasan PPK-BLUD
Masalah kunci lainnya pada PPK-BLUD adalah siapa yang akan mengawasi. Bagaimana fungsi dan peran DPRD terhadap PPK-BLUD. Sampai saat ini, masih banyak pihak yang belum mehami secara utuh apa itu PPK-BLUD. Penerapan PPK-BLUD dipandang  sebagai privatisasi, pemisahan diri dari pemerintah daerah yang akan berdampak kekuasaan direksi yang sangat besar.  Kesimpan siuran inilah apalagi informasi melalui media massa yang sering dipenggal dan tidak utuh yang menyebabkan resistensi cukup tinggi.
Perlu digaris bawahi bahwa penerapan PPK-BLUD tidak merubah satus, tugas pokok dan fungsi serta kelembagaan RSUD.  Aset PPK-BLUD tidak dipisahkan dari aset daerah dengan demikian RSUD bukanlah BUMD yang pendapatan dan belanjanya tidak ditetapkan oleh DPRD. Itu sebabnya mengapa dalam peraturan perundang-undangan, penerapan pola PPK-BLUD cukup membutuhkan surat keputusan kepala daerah setelah dilakukan penilaian oleh Tim Penilai yang dibentuk oleh Kepala Daerah. Bagaimana hubungan antara RSUD setelah menerapkan pola PPK-BLUD adalah persis sama dan sebangun dengan hubungan RSUD dengan pemerintah daerah saat ini. Karena hubungan  pemerintah daerah dengan RSUD tidak berubah, maka hubungan RSUD dengan DPRD terkait dengan penetapan anggaran (pendapatan dan belanja) dan pegawasan juga tidak berubah.  RBA-SKPD sebagai pengganti RKA-SKPD sebelum dapat dipergunakan harus dibahas, disetujui dan ditetapkan oleh DPRD. Karena pola PPK-BLUD memberikan fleksibilitas pengelolaan keuangan, maka RSUD dapat berbelanja untuk keperluan operasional dengan catatan tidak melampaui anggaran tahun sebelumnya sebesar nilai ambang batas yang dinyatakan dalam persentese sebelum RBA-SKPD ditetapkan oleh DPRD baik APBD murni maupun APBD perubahan.  Dengan demikian anggapan yang mengatakan bahwa RSUD dapat menggunakan anggaran tanpa persetujuan DPRD tidak memiliki dasar sama sekali.
Pada RBA-SKPD hanya ada satu program RSUD yaitu program peningkatan pelayanan kesehatan pada masyarakat yang kemudian dirinci dalam bentuk kegiatan-kegiatan. Karena model penganggarannya lebih sederhana hanya sampai tiga tingkat, maka dalam satu kegiatan yang sama direktur dapat melakukan pergesaran anggaran mendahului penetapan APBD-P untuk menjamin kelangsungan pelayanan. Setiap pergeseran anggaran yang mendahului penetapan APBD-P akan dikonsolidasikan dengan DPKD untuk ditetapkan pada APBD-P. Laporan pelaksanaan anggaran oleh RSUD akan dikonsolidasikan dengan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD oleh kepala daerah. Jika terdapat uang sisa operasioanal yang tersimpang di kas RSUD, maka dalam laporan keuangan daerah khusunya  SILPA akan diberikan keterangan tambahan misalnya Rp. 100 juta berada pada kas RSUD.
Selain pengawasan oleh DPRD, sebagaimana SKPD lainnya, laporan keuangan RSUD akan diperiksa oleh BPK dan diawasi oleh Inspektorat. Namun berbeda dengan SKPD lainnya, RSUD juga harus bersedia di audit oleh Akuntan Publik dan kepala daerah akan mengawasi RSUD secara langsung dengan mengangkat dewan pengawas yang dibentuk oleh kepala daerah. Tambahan pengawasan yg diberikan kepada SKPD dengan pola PPK-BLUD dapat dimaklumi sebagai konsekwensi fleksibilitas penggunaan anggaran. Perlu digaris bawahi bahwa pemberian fleksibilitas penggunaan anggaran hanya diperbolehkan untuk anggaran yang berasal dari pendapatan operasional RSUD yang merupakan pembayaran masyarakat. Belanja yang tidak berasal dari pendapatan operasional (DAU/DAK/Tugas Perbantuan/Bagi Hasil dan sebagainya) tetap tunduk pada ketentuan yang berlaku selama ini termasuk Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Pendapatan operasional sendiri akan dicatatkan pada pos pendapatan asli daerah lainnya oleh BLUD pada APBD.
Muncul kemudian pertanyaan, jika kewenangan direktur RSUD dengan pola PPK-BLUD sedemikian besarnya, apakah tidak  mungkin terjadi penyalahgunaan kewenangan. Bahwa penyalahgunaan kewenangan tentu saja dapat terjadi sebagaimana halnya pada SKPD lainnya. Untuk menimilkan resiko tersebut maka selain adanya tambahan pengawasan oleh dewan pengawas serta kesediaan untuk diaudit oleh akuntan publik , direktur RSUD diikat oleh peraturan kepala daerah dalam bentuk petunjuk  tekhnis tata kelola.  Melalui petunjuk tekhnis inilah, kepala daerah dapat (tidak harus) mendelegasikan kewenangannya pada direktur RSUD, sekaligus memberikan batasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam mengelola PPK-BLUD RSUD. Sekalipun kepala daerah telah mendelegasikan kewenangannya, namun untuk kebijakan yang bersifat strategis seperti investasi, pemanfaatan sisa anggaran di Kas RSUD dan kebijakan strategis lainnya harus mendapar persetujuan dari kepala daerah atau minimal oleh dewan pengawas.

No comments:

Post a Comment