Pesawat berbaling-baling mulai
terbang rendah menuju bandara Iskandar Pangkalan Bun Kalimantan Tengah.
Beberapa mata mulai mengintip melalui jendela pesawat, begitupun diriku yang
sangat antusias melihat wilayah yang akan aku tinggali bersama suami.
Berhektar-hektar hutan, sawit dan jati terhampar bak permadani, rapi bak rambut
tersisir rapi. Membelah dan meliuk diantaranya sungai Arut nan lebar hingga 20m
dan konon masih berbuaya.
Nyaliku
ciut ketika memasuki kota kecil ini, tak tampak gedung, mall dan resto
kesayanganku, sementara beberapa gedung setinggi 5- 10 meter adalah sarang
walet dengan kebisingannya. Rumah dinas yang bakal kami tempati masih jauh dari
kota kabupaten ini. Sejak memutuskan menjadi PNS, suamiku sudah siap menjadi
dokter yang ditempatkan dimanapun pelosok negeri ini. Tapi tidak bagiku yang
telah berpuluh tahun tinggal di kota besar bahkan di luar negeri. Tentu ini
adalah tantangan tersendiri. Segala keperluan rumah tangga harus kami beli di kota
yang berjarak 50 km
melintasi jalan tanpa aspal bersaing dengan truk pengangkut buah tandan sawit,
gelondongan kayu dan truk bermuatan hasil bumi dari Jawa menuju pedalaman
Kalimantan. Air yang banyak mengandung
asam membuat gigi penduduk sekitar rusak parah, sering kami tampung air
hujan buat keperluan sehari-hari. Untuk menuju ke kota kabupaten kami harus
naik kelotok atau speed selama tiga jam hingga perut rasa terguling-guling.
Jangan lagi ditanyakan tentang TV, Internet atau sinyal Hp. Tak bisa aku membayangkan
kehidupan para keluarga dokter lainnya di kota, karena pasti akan membuat aku
semakin tersiksa.
Sebagai
istri kepala Puskesmas aku dituntut aktif bergaul dengan masyarakat desa
melalui PKK desa. Suamiku adalah dokter satu-satunya yang mengurusi
wilayah beberapa desa dengan kontur alam
yang sangat sulit ini. Berkali-kali aku meminta suami untuk pindah ke kota dan
menikmati hidup layaknya keluarga dokter lain yang hidup nyaman sejahtera
dengan berbagai fasilitas menarik yang ditawarkan di perkotaan. Aku memikirkan
bagaimana pendidikan anak-anak, aktualisasi diri dan kebutuhan rekreasi yang
tak kudapatkan di desa ini. Tapi suamiku tetap berpegang teguh bahwa mengabdi
pada masyarakat di pelosok ini jauh lebih membahagiakan.....
Suatu pagi terjadilah
peristiwa yang mengubah cara pandangku. Seorang ibu muda tergopoh-gopoh
mendatangi rumah kami. Dalam dekapannya ada bayi mungil berwajah bulat yang
lemah di selimuti jaket lusuh. Segera dengan cekatan dan hati-hati suamiku memeriksa kondisi bayi ini, ternyata
suamiku mendapati bahwa bayi mungil ini telah dingin tanpa nafas. Bayi ini
telah meninggal beberapa jam yang lalu, dehidrasi parah akibat diare telah
menjemput ajalnya. Rumahnya yang jauh melewati berhektar-hektar sawit membuat
dia menunda membawa ke dokter hingga terbit fajar. Ibu muda ini menjerit mendapati bayinya
tercinta telah tiada, sesaat kemudian dia terkulai tak berdaya, aku larut dalam
dukanya matakupun berkaca-kaca, kutuntun
Ibu muda ini melantunkan doa. Ya Allah mengapa Engkau harus mengambil nyawa
bayi mungil ini demi membuka kekakuan dan kesombonganku atas nikmat yang telah
Engkau berikan.. Ampunilah aku Ya Allah....
No comments:
Post a Comment