Sunday, August 18, 2013

Berdamai Dengan Kesulitan Oleh: Ida She

Pesawat berbaling-baling mulai terbang rendah menuju bandara Iskandar Pangkalan Bun Kalimantan Tengah. Beberapa mata mulai mengintip melalui jendela pesawat, begitupun diriku yang sangat antusias melihat wilayah yang akan aku tinggali bersama suami. Berhektar-hektar hutan, sawit dan jati terhampar bak permadani, rapi bak rambut tersisir rapi. Membelah dan meliuk diantaranya sungai Arut nan lebar hingga 20m dan konon masih berbuaya.
Nyaliku ciut ketika memasuki kota kecil ini, tak tampak gedung, mall dan resto kesayanganku, sementara beberapa gedung setinggi 5- 10 meter adalah sarang walet dengan kebisingannya. Rumah dinas yang bakal kami tempati masih jauh dari kota kabupaten ini. Sejak memutuskan menjadi PNS, suamiku sudah siap menjadi dokter yang ditempatkan dimanapun pelosok negeri ini. Tapi tidak bagiku yang telah berpuluh tahun tinggal di kota besar bahkan di luar negeri. Tentu ini adalah tantangan tersendiri. Segala keperluan rumah tangga harus kami beli di kota yang berjarak 50 km melintasi jalan tanpa aspal bersaing dengan truk pengangkut buah tandan sawit, gelondongan kayu dan truk bermuatan hasil bumi dari Jawa menuju pedalaman Kalimantan. Air yang banyak mengandung  asam membuat gigi penduduk sekitar rusak parah, sering kami tampung air hujan buat keperluan sehari-hari. Untuk menuju ke kota kabupaten kami harus naik kelotok atau speed selama tiga jam hingga perut rasa terguling-guling. Jangan lagi ditanyakan tentang TV, Internet atau  sinyal Hp. Tak bisa aku membayangkan kehidupan para keluarga dokter lainnya di kota, karena pasti akan membuat aku semakin tersiksa.
Sebagai istri kepala Puskesmas aku dituntut aktif bergaul dengan masyarakat desa melalui PKK desa. Suamiku adalah dokter satu-satunya yang mengurusi wilayah  beberapa desa dengan kontur alam yang sangat sulit ini. Berkali-kali aku meminta suami untuk pindah ke kota dan menikmati hidup layaknya keluarga dokter lain yang hidup nyaman sejahtera dengan berbagai fasilitas menarik yang ditawarkan di perkotaan. Aku memikirkan bagaimana pendidikan anak-anak, aktualisasi diri dan kebutuhan rekreasi yang tak kudapatkan di desa ini. Tapi suamiku tetap berpegang teguh bahwa mengabdi pada masyarakat di pelosok ini jauh lebih membahagiakan.....
Suatu pagi terjadilah peristiwa yang mengubah cara pandangku. Seorang ibu muda tergopoh-gopoh mendatangi rumah kami. Dalam dekapannya ada bayi mungil berwajah bulat yang lemah di selimuti jaket lusuh. Segera dengan cekatan dan hati-hati  suamiku memeriksa kondisi bayi ini, ternyata suamiku mendapati bahwa bayi mungil ini telah dingin tanpa nafas. Bayi ini telah meninggal beberapa jam yang lalu, dehidrasi parah akibat diare telah menjemput ajalnya. Rumahnya yang jauh melewati berhektar-hektar sawit membuat dia menunda membawa ke dokter hingga terbit fajar.  Ibu muda ini menjerit mendapati bayinya tercinta telah tiada, sesaat kemudian dia terkulai tak berdaya, aku larut dalam dukanya matakupun berkaca-kaca,  kutuntun Ibu muda ini melantunkan doa. Ya Allah mengapa Engkau harus mengambil nyawa bayi mungil ini demi membuka kekakuan dan kesombonganku atas nikmat yang telah Engkau berikan.. Ampunilah aku Ya Allah....

No comments:

Post a Comment