Banyaknya gugatan yang dihadapi oleh dokter dan rumah sakit
akhir-akhir ini telah menimbulkan perasaan cemas dunia kedokteran di Indonesia. Hal
ini merupakan konsekuensi logis dari transformasi masyarakat menuju litigious
society atau masyarakat yang semakin gemar menuntut. Banyaknya tuntutan malpraktik tidak hanya terjadi
di Indonesia, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat, tuntutan malpraktik
malah lebih banyak lagi. Seringnya dokter/rumah sakit dituntut malpraktik
berakibat pada banyaknya rumah sakit yang menutup unit layanan tertentu karena
tidak sanggup melayani gugatan. Unit yang paling banyak digugat adalah unit kebidanan
dan gawat darurat. Para dokter spesialis
kebidanan di negara bagian Nevada misalnya sampai enggan berpraktik sebab sebagian besar
pendapatannya habis untuk membayar premi asuransi malpraktik
.
Dampak lanjutan dengan adanya kecenderungan ini adalah
dokter menjalankan praktik kedokteran defensif degan melakukan pemeriksaan
berlebihan. Para dokter merasa harus membentengi diri dari tuntutan dengan
melakukan pemeriksaan diagnostik yang tidak perlu seperti pemeriksaan EKG pada
pasien influensa. Pemeriksaan EKG diberikan untuk dijadikan bahan pembelaan kalau
suatu saat terjadi seorang pasien baru saja meminum obat dan kemudian tiba-tiba
meninggal. Pandangan masyarakat awan akan langsung mengambil kesimpulan bahwa yang
bersangkutan meninggal karena obat yang diberikan padahal belum tentu, bisa terjadi
hanya kejadian bersamaan dengan serangan jantung misalnya. Kejadian ini dapat
diumpakan pada seseorang yang sedang mengendarai sepeda motor tiba-tiba mengalami
serangan jantung dan terjatuh lalu digilas oleh truk yang sedang lewat. Hampir
semua orang yang melihatnya akan menyalahkan sopir truk dan menganggap karena
kelalaiannyalah yang menjadi sebab pengendara motor meninggal padahal mungkin saja dia telah meninggal
sebelumnya baru tergilas. Praktik depensif sebetulnya sangat merugikan masyarakat dengan bertambahnya biaya yang sesungguhnya tidak
perlu. Dampak lain adalah dokter cenderung menyembunyikan identitas ketika ada
seseorang yang tiba-tiba mengalami kegawatdaruratan padahal seorang dokter
diwajibkan untuk memberikan pertolongan semampunya pada setiap kegawatdaruratan.
Dokter berpikir lebih baik tidak mengaku sebagai dokter ketimbang menolong dan terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan kemudian dituntut.
Berdasarkan satu penelitian independen yang dilakukan
ditemukan fakta bahwa ribuan tuntutan
malpraktik yang diajukan di berbagai pengadilan di Amerika Serikat ternyata hanya segelintir kasus yang
sesungguhnya layak diproses secara hukum. Fakta ini berbanding lurus dengan
tingginya angka gugatan yang tidak dikabulkan oleh pengadilan. Dampaknya
adalah dokter yang dituntut meskipun kemudian dinyatakan tidak bersalah tetapi
telah jatuh miskin akibat banyaknya pengeluaran biaya berperkara di pengadilan termasuk
untuk membayar pengacara. Para dokter-dokter ini kemudian jarang yang kembali berpraktik sebab selain
tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar biaya sewa tempat praktik, membayar
gaji staf , juga pasti pasiennya akan sangat berkurang sebab pemberitaan terus
menerus selama proses hukum tentu telah menghancurkan kredibilitasnya sebagai dokter dimata
pasien. Melihat fakta ini, ditambah tekanan dari para pekerja sektor kesehatan,
presiden George W Bush dengan persetujuan kongres menyetujui sebuah undang-undang untuk
membentuk satu lembaga (pretribunal) yang akan menilai apakah suatu tuntutan layak diajukan
ke pengadilan atau tidak. Kecemasan para dokter akan tuntutan hukum yang dapat
menimpanya setiap saat telah menjalar dikalangan dokter Indonesia, tidak
berlebihan kemudian kalau sejumlah dokter tidak berharap anaknya bercita-cita
menjadi dokter karena besarnya imbalan yang diterima oleh dokter tidak sepadan
dengan besarnya risiko hukum yang akan dihadapi.
Konflik antara dokter dan pasien sesungguhnya dapat
diminimalkan jika ada komunikasi yang
sehat antara dokter dan pasien. Hampir semua konflik antara dokter dan pasien biasanya muncul akibat
adanya prakondisi misalnya kena adanya efek samping yang tidak diinginkan (adverse
event) akibat obat atau tindakan medis yang diberikan. Konflik muncul karena
adanya perbedaan persepsi, komunikasi yang tidak nyambung serta karakter perorangan
baik dari dokter seperti sikap yang arogan,
ketus, enggan memberikan informasi atau dari pihak pasien seperti watak keras
maupun hobi memprotes. Prakondisi akan menjadi faktor pemicu yang selanjutnya menyulut munculnya
perbedaan persepsi atas efek samping pengobatan dan tindakan medis yang diberikan
oleh dokter terhadap pasien. Pasien sebagai orang awam tentu tidak dapat memahami
logika medis bahwa upaya pengobatan dan tindakan medis merupakan upaya yang
sarat dengan ketidak pastian. Hasil dari suatu pengobatan dan tindakan medis
bukanlah logika matematis yang dapat dihitung secara pasti karena keberhasilan
suatu pengobatan atau tindakan medis sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
diluar kontrol dokter seperti daya tahan tubuh seseorang, mekanisme pertahanan
tubuh, jenis penyakit, tingkat virulensi kuman, stadium penyakit, kepatuhan
pasien mengikuti prosedur dan nasihat dokter/perawat, kualitas obat dan respon
individual terhadap obat.
Respon individual pasien terhadap obat perlu digaris bawahi
karena obat inilah yang sering menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan
mulai dari yang ringan sebatas kemerahan yang gatal-gatal, sedang seperti drug induce, berat seperti syndrome Steven Jhonson sampai yang fatal yang dapat berakibat kematian seperti syok
anafilaktif. Karena setiap orang memiliki komposisi genetika yang berbeda
maka seharusnya setiap obat yang diproduksi harus sesuai susunan genetika setiap
individu. Tentu saja obat seperti ini sulit diproduksi karena sangat tidak
ekonomis. Tentu sulit dicerna secara ekonomis jika sebuah pabrik obat melakukan penelitian dan pengembangan obat
dengan biaya bermilyard-milyard hanya untuk seorang Suyuti Syamsul misalnya. Kalau
kemudian ada obat yang diciptakan seperti itu, apakah pasien yang bernama Suyuti Syamsul sanggup untuk membelinya. Olehnya itu obat kemudian diciptakan
dengan hanya mempertimbangan bahwa secara umum dapat diterima oleh kebanyakan
tubuh manusia padahal setiap manusia memiliki tubuh yang unik yang mungkin akan
bereaksi berlebihan pada obat tertentu. Bahkan ada istilah delay
hipersensitive yang berarti reaksi berlebihan muncul belakangan, hal ini bisa
terjadi pada orang yang sebelumnya aman meminum obat tertentu tetapi dikemudian
hari menjadi alergi pada obat tersebut.
Kebanyakan masyarakat menganggap bahwa upaya medis yang dilakukan oleh dokter adalah
satu-satunya faktor yang dapat
mempengaruhi kondisi kesakitan pasien sehingga keluarga pasien berpendapat
kalau obat dan tindakan medis yang diberikan sudah benar tidak seharusnya pasien meninggal
dunia, bertambah buruk kondisinya atau cacat. Faktanya, upaya pengobatan dan
tindakan medis yang terbaik dan termahal sekalipun tidak menjamin seorang
pasien sembuh. Bahkan tidak jarang seseorang (sengaja tidak ditulis
dokter) karena ada banyak orang yg memberikan pengobatan) melakukan kesalahan
diagnosis yang dengan sendirinya tentu saja memberikan obat yang tidak tepat tetapi
justru pasien sembuh oleh mekanisme pertahanan tubuh pasien sendiri.
Pemahaman yang kurang memadai
tentang hakekat upaya pengobatan dan tindakan medis tersebut masih diperparah
lagi oleh minimnya pemahaman mengenai hubungan hukum dokter pasien. Tidak begitu
banyak pasien atau keluarganya yang memahami bahwa hubungan pasien dengan dokter/rumah sakit adalah
hubungan sederajat yang merupakan perikatan ikhtiar para pihak dengan hak dan
kewajibannya masing-masing. Konsekuensi dari perikatan ikhtiar ini adalah dokter/rumah sakit tidak dibebani kewajiban untuk
mewujudkan hasil (berupa kesembuhan), melainkan hanya dibebani kewajiban
melakukan upaya maksimal sesuai standar yang berlaku, yaitu suatu tingkat kualitas layanan medis
yang mencerminkan telah diterapkannya ilmu, ketrampilan, pertimbangan dan
perhatian yang layak sebagaimana yang dilakukan oleh dokter pada umumnya dalam
menghadapi situasi dan kondisi yang sama pula (Hubert Smith). Tentu dengan mengikuti
standar yang berlaku, seorang dokter berharap pasiennya akan sembuh namun jika
pada kenyataan berlaku sebaliknya bahkan terjadi efek samping atau risiko
medis, tidak serta merta dokter atau rumah sakit harus dipersalahkan.Rangkaian
pengobatan yang diberikan oleh dokter/rumah sakit adalah suatu ikhtiar, sehingga dokter/rumah sakit tidak dapat menjanjikan
kesembuhan melainkan hanya berupaya memberikan usaha maksimal sesuai standar
pelayanan yang berlaku untuk kesembuhan pasien. Bahkan menurut kode etik kedokteran, seorang
dokter yang menjanjikan kesembuhan pada seorang pasien dipandang telah
melakukan pelanggaran etika dan akan mendapat sangsi disiplin dari Ikatan Dokter
Indonesia.
Sebab lain yang menjadi pemicu
sengketa adalah ketidakfahaman para pihak akan hak dan kewajiban
masing-masing. Dokter/Rumah Sakit sering lebih mengutamakan haknya tetapi cenderung
mengabaikan kewajibannya. Pada saat yang sama pasien hanya menuntut haknya
untuk dilayani tetapi tidak dapat memenuhi kewajibannya seperti membayar semua
biaya pelayanan dan obat yang diterimanya. Padahal hak dan kewajiban
masing-masing pihak telah diatur dengan jelas oleh Undang-Undang Nomor 29 tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran. Hak pasien misalnya, mendapat penjelasan
secara lengkap mengenai penyakit, pemeriksaan, pengobatan, efek samping,
risiko, komplikasi, sampai alternatif pengobatannya. Pasien juga berhak untuk menolak
pemeriksaan/pengobatan dan meminta pendapat dokter lain sebagai pendapat kedua.
Akan tetapi pasien juga punya kewajiban yang tidak boleh diabaikannya seperti memberikan informasi selengkap-lengkapnya,
mematuhi nasihat/anjuran pengobatan, mematuhi peraturan yang ada di rumah sakit
serta membayar semua biaya pelayanan kesehatan yang telah diberikan.
Undang-Undang yang sama juga mewajibkan dokter
untuk memberikan pelayanan sesuai
standar layanan yang ada dan kebutuhan
medis pasien, merujuk ke tempat yang lebih mampu jika tidak sanggup menangani
pasien, merahasiakan rekam medik. Namun hak dokter juga dijamin dalam hubungan
dokter pasien yaitu menerima pembayaran
atas jasa layanan kesehatan yang diberikannya.
Dengan memahami hak masing-masing seyogianya akan terjalin komunikasi yang baik serta menjamin adanya rasa saling percaya
untuk menghindari kesalahpahaman. Pasien maupun dokter/rumah sakit harus bersedia saling
terbuka serta bersedia menerima masukan agar program pengobatan dapat dilaksanakan dengan baik. Para dokter/rumah sakit harus paham bahwa pasien ketempat praktik atau ke rumah sakit semata-mata datang untuk diobati dan sembuh bukan untuk mencari masalah.
Pasien pada saat yang sama harus memiliki pemahaman bahwa tidak ada satupun dokter yang waras memiliki niat jahat
untuk mencelakai pasiennya. Perlu kebesaran jiwa seluruh pihak yang terkait untuk
membangun rasa empati untuk menyadari bahwa pasien dan keluarganya sedang dalam kesusahan karena
penyakitnya olehnya itu sangat wajar jika pasien mudah marah, terlalu sensitif,
atau manja. Namun mengingat jumlah dokter selalu tidak seimbang dengan banyaknya
pasien yang harus dilayaninya, pasien dan keluarganya perlu maklum dan tidak
perlu marah hanya karena tidak dilayani sesuai keinginannnya karena barangkali
pada saat pasien memerlukan kehadiran dokter, saat itu dokter yang diperlukannya
sedang berjuang menyelamatkan jiwa pasien lainnya yang lebih memerlukan pertolongan.
Tanpa bermaksud
membela dokter dan rumah sakit, banyaknya gugatan yang kandas menimbulkan
anggapan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam proses pengadilan. Banyak pihak menuduh
bahwa para saksi ahli yang juga dokter berpihak dengan memberikan pertimbangan
ilmiah yang menyesatkan mengingat seluruh dokter diikat oleh satu etika
kesejawatan. Namun dari pengamatan sepintas atas kasus yang dituduhkan sebagai
malpraktik, kandasnya gugatan justru karena lemahnya dalil yang diajukan
karena tidak didukung oleh logika medis dan logika hukum yang benar. Kelemahan
logika yang diajukan tampak dari upaya melakukan generalisasi bahwa setiap akibat
yang tidak dinginkan dalam pengobatan dan tindakan medis pastilah sebuah malpraktik.
Mestinya setiap efek yang tidak diinginkan jika timbul dalam suatu upaya pengobatan
dianalisa terlebih dahulu secara jernih kemudian dipilah mengigat tidak identiknya efek yang tidak
diinginkan dengan malpraktik. Kejadian
munculnya efek yang tidak diinginkan dapat dipilah apakah termasuk pidana,
perdata ataukah sebuah kecelakaan medis (misadventure).
Beberapa kasus yang menunjukkan lemahnya dalil yang
digunakan pasien atau keluarganya menuntut
antara lain seorang dokter dilaporkan ke polisi disertai pengajuan
gugatan ganti rugi ke pengadilan hanya karena bayi yang kelahirannya dibantu dengan
vacuum extractie mengalami kelumpuhan otot leher. Kasus lain adalah seorang dokter
dilaporkan ke polisi karena pasien mengalami Steven Johnson Syndrome akibat obat yang
diberikan atau seorang juru imunisasi yang diproses secara hukum karena setelah
memberikan suntikan imusisasi si bayi kemudian mengalami syok anafilaktik
kemudian meninggal. Betul dalam ketiga contoh kasus tersebut ada unsur damage
(kerugian) bagi pasien dan keluarganya, tetapi persoalannya apakah ada unsur dereliction of duty (kelalaian)
yang secara langsung telah mengakibatkan damage tersebut? Penelitian yang
dilakukan oleh Institute of Medicine memberikan gambaran sekitar 2,9 % sampai
3,7 % pasien rawat inap mengalami kejadian
yang tidak diinginkan yaitu perpanjangan perawatan, cacat tetap, alergi obat,
infeksi sampai meninggal dunia. Menurut penelitian yang sama, 70 % kejadian
yang tidak dinginkan disebabkan karena kesalahan yang tidak dapat dicegah
olehnya itu tidak termasuk kategori pelanggaran hukum, 27,6 % adalah kejadian
yang sesungguhnya dapat dicegah dengan demikian termasuk kategori malpraktik,
2,4 % tidak dapat ditentukan apakah dapat dicegah atau tidak dapat dicegah).
Hasil penelitian ini sejalan dengan teori Perrow (the Perrow’s Normal Accident
Theory) yang menyatakan pertama, dalam
sistem tertentu kecelakaan tidak dapat dihindari sama sekali, kedua, dalam
industri yang kompleks dan bertekhnologi tinggi maka kecelakaan merupakan hal
yang normal. Seluruh pihak perlu menyadari bahwa pekerjaan kedokteran dan
perumahsakitan adalah pekerjaan rumit yang kompleks serta memerlukan bantuan
teknologi. Dalam upaya menjaga keselamatan pasien The National Patient Safety
Foundation menyimpulkan sebagai berikut: Pertama, keselamatan pasien adalah upaya untuk menghindari dan mencegah kejadian yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh
proses layanan serta meningkatkan mutu. Kedua, keselamatan pasien tidak hanya
tertumpu pada perorangan, peralatan atau bagian saja, tetapi juga hasil interaksi
dari berbagai komponen dan sistem.
Beberapa faktor yang perlu dikaji terlebih dahulu oleh pasien, keluarga pasien atau pengacara yang mewakilinya sebagai bahan untuk memahami logika hukum sebagai berikut:
1. Hubungan dokter-pasien merupakan hubungan kontraktual sehingga semua azas dalam berkontrak berlaku khususnya itikad baik,
2. Ikatan yang timbul sebagai konsekuensi hubungan dokter-pasien hanya mewajibkan dokter memberikan upaya yang benar bukan hasil,
3. Kejadian yang tidak diinginkan tidak secara otomatis merupakan bukti adanya malpraktik karena pembuktian malpraktik menghendaki adanya unsur 4 D (Duty, Dereliction of duty, Damage dan Direct causation between damage and dereliction of duty) atau harus ada fakta yang benar-benar dapat berbicara sendiri (Res Ipsa Loquitur) seperti gunting yang tertinggal diperut pasien,
4. Kesalahan diagnosis tidak dapat dikatakan malpraktik sepanjang dokter, dalam membuat diagnosis telah memenuhi ketentuan dan prosedur.
Perlu dipahami bahwa bagian tersulit dari pekerjaan dokter adalah menegakkan diagnosis. Sekalipun telah banyak alat bantu diagnosis yang sangat canggih, keberadaan alat tersebut hanya bersifat mengurangi angka kesalahan saja. Negara maju seperti Amerika Serikat pun kesalahan diagnosis tetap tinggi yakni mencapai 17 %. Hal paling penting sebenarnya adalah apakah kesalahan diagnosis tersebut terjadi karena kecerobohan dalam melakukan prosedur diagnosis atau tidak..
Semua orang yang ke dokter atau ke rumah sakit tentu berharap sembuh atau mendapatkan hasil terbaik sebagaimana yang diharapkan. Namun sesuai dengan sifat layanan medis yang hanya merupakan rangkaian ikhtiar tentu saja bisa timbul hal-hal yang tidak diinginkan seperti cacat seumur hidup, lumpuh, buta, tuli atau bahkan meninggal dunia. Sebagai seorang profesional, dokter tidak perlu khawatir berlebihan sebab bila seorang dokter telah melakukan tindakan yang sudah benar sesuai dengan standar yang berlaku maka munculnya kejadian-kejadian yang tidak dinginkan harusnya dianggap sebagai risiko medis yang tidak dapat dicegah. Tentu akan sangat berbeda bila kejadian yang tidak diinginkan tersebut muncul sesuatu yang bersifat kesengajaan (intensional), kecerobohan (recklessness) maupun kealpaan (negligence).
No comments:
Post a Comment