Sunday, August 18, 2013

Sengketa Medis

Banyaknya gugatan yang dihadapi oleh dokter dan rumah sakit akhir-akhir ini telah menimbulkan perasaan cemas dunia kedokteran di Indonesia. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari transformasi masyarakat menuju litigious society atau masyarakat yang semakin gemar menuntut.  Banyaknya tuntutan malpraktik tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat, tuntutan malpraktik malah lebih banyak lagi. Seringnya dokter/rumah sakit dituntut malpraktik berakibat pada banyaknya rumah sakit yang menutup unit layanan tertentu karena tidak sanggup melayani gugatan. Unit yang paling banyak digugat adalah unit kebidanan dan  gawat darurat. Para dokter spesialis kebidanan di negara bagian Nevada misalnya sampai enggan berpraktik sebab sebagian besar pendapatannya habis untuk membayar premi asuransi malpraktik
.
Dampak lanjutan dengan adanya kecenderungan ini adalah dokter menjalankan praktik kedokteran defensif degan melakukan pemeriksaan berlebihan. Para dokter merasa harus membentengi diri dari tuntutan dengan melakukan pemeriksaan diagnostik yang tidak perlu seperti pemeriksaan EKG pada pasien influensa. Pemeriksaan EKG diberikan untuk dijadikan bahan pembelaan kalau suatu saat terjadi seorang pasien baru saja meminum obat dan kemudian tiba-tiba meninggal. Pandangan masyarakat awan akan langsung mengambil kesimpulan bahwa yang bersangkutan meninggal karena obat yang diberikan padahal belum tentu, bisa terjadi hanya kejadian bersamaan dengan serangan jantung misalnya. Kejadian ini dapat diumpakan pada seseorang yang sedang mengendarai sepeda motor tiba-tiba mengalami serangan jantung dan terjatuh lalu digilas oleh truk yang sedang lewat. Hampir semua orang yang melihatnya akan menyalahkan sopir truk dan menganggap karena kelalaiannyalah yang menjadi sebab pengendara motor meninggal padahal mungkin saja dia telah meninggal sebelumnya baru tergilas. Praktik depensif sebetulnya sangat merugikan masyarakat dengan bertambahnya biaya yang sesungguhnya tidak perlu. Dampak lain adalah dokter cenderung menyembunyikan identitas ketika ada seseorang yang tiba-tiba mengalami kegawatdaruratan padahal seorang dokter diwajibkan untuk memberikan pertolongan semampunya pada setiap kegawatdaruratan. Dokter berpikir lebih baik tidak mengaku sebagai dokter ketimbang menolong dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kemudian dituntut.
Berdasarkan satu penelitian independen yang dilakukan ditemukan fakta bahwa  ribuan tuntutan malpraktik yang diajukan di berbagai pengadilan di Amerika Serikat ternyata hanya segelintir kasus yang sesungguhnya layak diproses secara hukum. Fakta ini berbanding lurus dengan tingginya angka gugatan yang tidak dikabulkan oleh pengadilan. Dampaknya adalah dokter yang dituntut meskipun kemudian dinyatakan tidak bersalah tetapi telah jatuh miskin akibat banyaknya pengeluaran biaya berperkara di pengadilan termasuk untuk membayar pengacara. Para dokter-dokter ini kemudian jarang yang kembali berpraktik sebab selain tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar biaya sewa tempat praktik, membayar gaji staf , juga pasti pasiennya akan sangat berkurang sebab pemberitaan terus menerus selama proses hukum tentu telah menghancurkan kredibilitasnya sebagai dokter dimata pasien. Melihat fakta ini, ditambah tekanan dari para pekerja sektor kesehatan, presiden George W Bush dengan persetujuan kongres menyetujui sebuah undang-undang untuk membentuk satu lembaga (pretribunal) yang akan menilai apakah suatu tuntutan layak diajukan ke pengadilan atau tidak. Kecemasan para dokter akan tuntutan hukum yang dapat menimpanya setiap saat telah menjalar dikalangan dokter Indonesia, tidak berlebihan kemudian kalau sejumlah dokter tidak berharap anaknya bercita-cita menjadi dokter karena besarnya imbalan yang diterima oleh dokter tidak sepadan dengan besarnya risiko hukum yang akan dihadapi.
Konflik antara dokter dan pasien sesungguhnya dapat diminimalkan jika ada komunikasi  yang sehat antara dokter dan pasien. Hampir semua konflik antara dokter dan pasien biasanya muncul akibat adanya prakondisi misalnya kena adanya efek samping yang tidak diinginkan (adverse event) akibat obat atau tindakan medis yang diberikan. Konflik muncul karena adanya perbedaan persepsi, komunikasi yang tidak nyambung serta karakter perorangan baik dari dokter  seperti sikap yang arogan, ketus, enggan memberikan informasi atau dari pihak pasien seperti watak keras maupun hobi memprotes. Prakondisi akan menjadi faktor pemicu yang selanjutnya menyulut munculnya perbedaan persepsi atas efek samping pengobatan dan tindakan medis yang diberikan oleh dokter terhadap pasien. Pasien sebagai orang awam tentu tidak dapat memahami logika medis bahwa upaya pengobatan dan tindakan medis merupakan upaya yang sarat dengan ketidak pastian. Hasil dari suatu pengobatan dan tindakan medis bukanlah logika matematis yang dapat dihitung secara pasti karena keberhasilan suatu pengobatan atau tindakan medis sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain diluar kontrol dokter seperti daya tahan tubuh seseorang, mekanisme pertahanan tubuh, jenis penyakit, tingkat virulensi kuman, stadium penyakit, kepatuhan pasien mengikuti prosedur dan nasihat dokter/perawat, kualitas obat dan respon individual terhadap obat. 
Respon individual pasien terhadap obat perlu digaris bawahi karena obat inilah yang sering menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan mulai dari yang ringan sebatas kemerahan yang gatal-gatal, sedang  seperti drug induce, berat seperti syndrome Steven Jhonson sampai yang fatal yang dapat berakibat kematian seperti syok anafilaktif. Karena setiap orang memiliki komposisi genetika yang berbeda maka seharusnya setiap obat yang diproduksi harus sesuai susunan genetika setiap individu. Tentu saja obat seperti ini sulit diproduksi karena sangat tidak ekonomis. Tentu sulit dicerna secara ekonomis jika sebuah pabrik obat melakukan penelitian dan pengembangan obat dengan biaya bermilyard-milyard hanya untuk seorang Suyuti Syamsul misalnya. Kalau kemudian ada obat yang diciptakan seperti itu, apakah pasien yang bernama Suyuti Syamsul sanggup untuk membelinya. Olehnya itu obat kemudian diciptakan dengan hanya mempertimbangan bahwa secara umum dapat diterima oleh kebanyakan tubuh manusia padahal setiap manusia memiliki tubuh yang unik yang mungkin akan bereaksi berlebihan pada obat tertentu. Bahkan ada istilah delay hipersensitive yang berarti reaksi berlebihan muncul belakangan, hal ini bisa terjadi pada orang yang sebelumnya aman meminum obat tertentu tetapi dikemudian hari menjadi alergi pada obat tersebut.
Kebanyakan masyarakat menganggap bahwa  upaya medis yang dilakukan oleh dokter adalah satu-satunya faktor  yang dapat mempengaruhi kondisi kesakitan pasien sehingga keluarga pasien berpendapat kalau obat dan tindakan medis yang diberikan  sudah benar tidak seharusnya pasien meninggal dunia, bertambah buruk kondisinya atau cacat. Faktanya, upaya pengobatan dan tindakan medis yang terbaik dan termahal sekalipun tidak menjamin seorang pasien sembuh. Bahkan tidak jarang seseorang (sengaja tidak ditulis dokter) karena ada banyak orang yg memberikan pengobatan) melakukan kesalahan diagnosis yang dengan sendirinya tentu saja memberikan obat yang tidak tepat tetapi justru pasien  sembuh oleh  mekanisme pertahanan tubuh pasien sendiri. 
Pemahaman yang kurang memadai tentang hakekat upaya pengobatan dan tindakan medis tersebut masih diperparah lagi oleh minimnya pemahaman mengenai hubungan hukum dokter pasien. Tidak begitu banyak pasien atau keluarganya yang memahami bahwa  hubungan pasien dengan dokter/rumah sakit adalah hubungan sederajat yang merupakan perikatan ikhtiar para pihak dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Konsekuensi dari perikatan ikhtiar ini  adalah dokter/rumah sakit tidak dibebani kewajiban untuk mewujudkan hasil (berupa kesembuhan), melainkan hanya dibebani kewajiban melakukan upaya maksimal sesuai standar yang berlaku, yaitu suatu tingkat kualitas layanan medis yang mencerminkan telah diterapkannya ilmu, ketrampilan, pertimbangan dan perhatian yang layak sebagaimana yang dilakukan oleh dokter pada umumnya dalam menghadapi situasi dan kondisi yang sama pula (Hubert Smith). Tentu dengan mengikuti standar yang berlaku, seorang dokter berharap pasiennya akan sembuh namun jika pada kenyataan berlaku sebaliknya bahkan terjadi efek samping atau risiko medis, tidak serta merta dokter atau rumah sakit harus dipersalahkan.Rangkaian pengobatan yang diberikan oleh dokter/rumah sakit adalah  suatu ikhtiar, sehingga  dokter/rumah sakit tidak dapat menjanjikan kesembuhan melainkan hanya berupaya memberikan usaha maksimal sesuai standar pelayanan yang berlaku untuk kesembuhan pasien. Bahkan menurut kode etik kedokteran, seorang dokter yang menjanjikan kesembuhan pada seorang pasien dipandang telah melakukan pelanggaran etika dan akan mendapat sangsi disiplin dari Ikatan Dokter Indonesia. 
Sebab lain yang menjadi pemicu sengketa adalah ketidakfahaman para pihak akan hak dan kewajiban masing-masing. Dokter/Rumah Sakit sering lebih mengutamakan haknya tetapi cenderung mengabaikan kewajibannya. Pada saat yang sama pasien hanya menuntut haknya untuk dilayani tetapi tidak dapat memenuhi kewajibannya seperti membayar semua biaya pelayanan dan obat yang diterimanya. Padahal hak dan kewajiban masing-masing pihak telah diatur dengan jelas oleh Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Hak pasien misalnya, mendapat penjelasan secara lengkap mengenai penyakit, pemeriksaan, pengobatan, efek samping, risiko, komplikasi, sampai alternatif pengobatannya. Pasien juga berhak untuk menolak pemeriksaan/pengobatan dan meminta pendapat dokter lain sebagai pendapat kedua. Akan tetapi pasien juga punya kewajiban yang tidak boleh diabaikannya seperti  memberikan informasi selengkap-lengkapnya, mematuhi nasihat/anjuran pengobatan, mematuhi peraturan yang ada di rumah sakit serta membayar semua biaya pelayanan kesehatan yang telah diberikan. Undang-Undang yang sama juga mewajibkan dokter  untuk memberikan pelayanan  sesuai standar layanan yang ada dan  kebutuhan medis pasien, merujuk ke tempat yang lebih mampu jika tidak sanggup menangani pasien, merahasiakan rekam medik. Namun hak dokter juga dijamin dalam hubungan dokter pasien yaitu  menerima pembayaran atas jasa layanan kesehatan yang diberikannya.
Dengan memahami hak masing-masing seyogianya akan terjalin  komunikasi yang baik  serta menjamin adanya rasa saling percaya untuk menghindari kesalahpahaman. Pasien maupun dokter/rumah sakit harus bersedia saling terbuka serta bersedia menerima masukan agar program pengobatan dapat dilaksanakan dengan baik. Para dokter/rumah sakit harus  paham bahwa pasien ketempat praktik atau ke rumah sakit semata-mata datang untuk diobati dan sembuh bukan untuk mencari masalah. Pasien pada saat yang sama harus memiliki pemahaman bahwa tidak ada satupun dokter yang waras memiliki niat jahat untuk mencelakai pasiennya. Perlu kebesaran jiwa seluruh pihak yang terkait untuk membangun rasa empati untuk menyadari bahwa  pasien dan keluarganya sedang dalam kesusahan karena penyakitnya olehnya itu sangat wajar jika pasien mudah marah, terlalu sensitif, atau manja. Namun mengingat jumlah dokter selalu tidak seimbang dengan banyaknya pasien yang harus dilayaninya, pasien dan keluarganya perlu maklum dan tidak perlu marah hanya karena tidak dilayani sesuai keinginannnya karena barangkali pada saat pasien memerlukan kehadiran dokter, saat itu dokter yang diperlukannya sedang berjuang menyelamatkan jiwa pasien lainnya yang lebih memerlukan pertolongan.
Tanpa bermaksud membela dokter dan rumah sakit, banyaknya gugatan yang kandas menimbulkan anggapan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam proses pengadilan. Banyak pihak menuduh bahwa para saksi ahli yang juga dokter berpihak dengan memberikan pertimbangan ilmiah yang menyesatkan mengingat seluruh dokter diikat oleh satu etika kesejawatan. Namun dari pengamatan sepintas atas kasus yang dituduhkan sebagai malpraktik, kandasnya gugatan justru karena lemahnya dalil yang diajukan karena tidak didukung oleh logika medis dan logika hukum yang benar. Kelemahan logika yang diajukan tampak dari upaya melakukan generalisasi bahwa setiap akibat yang tidak dinginkan dalam pengobatan dan tindakan medis pastilah sebuah malpraktik. Mestinya setiap efek yang tidak diinginkan jika timbul dalam suatu upaya pengobatan dianalisa terlebih dahulu secara jernih kemudian dipilah mengigat tidak identiknya efek yang tidak diinginkan dengan malpraktik.  Kejadian munculnya efek yang tidak diinginkan dapat dipilah apakah termasuk pidana, perdata ataukah sebuah kecelakaan medis (misadventure).
Beberapa kasus yang menunjukkan lemahnya dalil yang digunakan pasien atau keluarganya menuntut  antara lain seorang dokter dilaporkan ke polisi disertai pengajuan gugatan ganti rugi ke pengadilan hanya karena bayi yang kelahirannya dibantu dengan vacuum extractie mengalami kelumpuhan otot leher. Kasus lain adalah seorang dokter dilaporkan ke polisi karena pasien mengalami Steven Johnson Syndrome akibat obat yang diberikan atau seorang juru imunisasi yang diproses secara hukum karena setelah memberikan suntikan imusisasi si bayi kemudian mengalami syok anafilaktik kemudian meninggal. Betul dalam ketiga contoh kasus tersebut ada unsur damage (kerugian) bagi pasien dan keluarganya, tetapi persoalannya apakah ada unsur dereliction of duty (kelalaian) yang secara langsung telah mengakibatkan damage tersebut? Penelitian yang dilakukan oleh Institute of Medicine memberikan gambaran sekitar 2,9 % sampai 3,7 %  pasien rawat inap mengalami kejadian yang tidak diinginkan yaitu perpanjangan perawatan, cacat tetap, alergi obat, infeksi sampai meninggal dunia. Menurut penelitian yang sama, 70 % kejadian yang tidak dinginkan disebabkan karena kesalahan yang tidak dapat dicegah olehnya itu tidak termasuk kategori pelanggaran hukum, 27,6 % adalah kejadian yang sesungguhnya dapat dicegah dengan demikian termasuk kategori malpraktik, 2,4 % tidak dapat ditentukan apakah dapat dicegah atau tidak dapat dicegah).
Hasil penelitian ini sejalan dengan  teori Perrow (the Perrow’s Normal Accident Theory) yang menyatakan  pertama, dalam sistem tertentu kecelakaan tidak dapat dihindari sama sekali, kedua, dalam industri yang kompleks dan bertekhnologi tinggi maka kecelakaan merupakan hal yang normal. Seluruh pihak perlu menyadari bahwa pekerjaan kedokteran dan perumahsakitan adalah pekerjaan rumit yang kompleks serta memerlukan bantuan teknologi. Dalam upaya menjaga keselamatan pasien The National Patient Safety Foundation menyimpulkan sebagai berikut: Pertama, keselamatan pasien adalah upaya untuk menghindari dan mencegah kejadian yang tidak diinginkan yang disebabkan oleh proses layanan serta meningkatkan mutu. Kedua, keselamatan pasien tidak hanya tertumpu pada perorangan, peralatan atau bagian saja, tetapi juga hasil interaksi dari berbagai komponen dan sistem.

Beberapa faktor yang perlu dikaji terlebih dahulu oleh pasien, keluarga pasien atau pengacara yang mewakilinya sebagai bahan untuk memahami logika hukum sebagai berikut: 
1. Hubungan dokter-pasien merupakan hubungan  kontraktual  sehingga semua azas dalam berkontrak berlaku khususnya itikad baik, 
2. Ikatan yang timbul sebagai konsekuensi hubungan dokter-pasien hanya mewajibkan dokter memberikan upaya yang benar bukan hasil, 
3. Kejadian yang tidak diinginkan tidak secara otomatis merupakan bukti adanya malpraktik karena pembuktian malpraktik menghendaki adanya unsur 4 D (Duty, Dereliction of duty, Damage dan Direct causation between damage and dereliction of duty) atau harus ada fakta yang benar-benar dapat berbicara sendiri (Res Ipsa Loquitur) seperti gunting yang tertinggal diperut pasien, 
4. Kesalahan diagnosis tidak dapat dikatakan malpraktik sepanjang dokter, dalam membuat diagnosis telah memenuhi ketentuan dan prosedur. 

Perlu dipahami bahwa bagian tersulit dari pekerjaan dokter adalah menegakkan diagnosis. Sekalipun telah banyak alat bantu diagnosis yang sangat canggih, keberadaan alat tersebut hanya bersifat mengurangi angka kesalahan saja. Negara maju seperti Amerika Serikat pun kesalahan diagnosis tetap tinggi yakni mencapai 17 %. Hal paling penting sebenarnya adalah apakah kesalahan diagnosis tersebut terjadi karena kecerobohan dalam melakukan prosedur diagnosis atau tidak..

Semua orang yang ke dokter atau ke rumah sakit tentu berharap sembuh atau mendapatkan hasil terbaik sebagaimana yang diharapkan. Namun sesuai dengan sifat layanan medis yang hanya merupakan rangkaian ikhtiar tentu  saja bisa timbul hal-hal yang tidak diinginkan seperti cacat seumur hidup, lumpuh, buta, tuli atau bahkan meninggal dunia. Sebagai seorang profesional, dokter tidak perlu khawatir berlebihan sebab bila seorang dokter telah melakukan tindakan yang sudah benar sesuai dengan standar yang berlaku maka munculnya kejadian-kejadian yang tidak dinginkan harusnya dianggap sebagai risiko medis yang tidak dapat dicegah. Tentu akan sangat berbeda bila kejadian yang tidak diinginkan tersebut muncul sesuatu yang bersifat kesengajaan (intensional), kecerobohan (recklessness) maupun kealpaan (negligence).

No comments:

Post a Comment